Mohon tunggu...
Winny Yuliana
Winny Yuliana Mohon Tunggu... -

Tidak banyak yang bisa dibagi, hanya beberapa deret kata yang mengandung segenggam cinta kepada hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Hari Bahagiamu

20 April 2015   15:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selamat pagi, Mas. Lihatlah bagaimana hari ini untukmu awan berarak pelan di bawah bentang biru yang menaungi kebahagiaanmu. Bukankah cuaca hari ini cocok untuk merayakan hari bahagia?

Berbeda dari hari yang biasa kunikmati bersamamu, hari ini aku begitu menikmati setiap jengkal dari ragamu. Aku sangat menikmati detail-detail dari bagian tubuhmu yang begitu memabukkan untukku.

Karena hari ini dagumu terangkat mantap, lebih dari ketika kau menggunakan dagu itu masa kau menasehati keliru-keliruku. Dadamu lebih busung, kau jadi lebih gagah daripada biasanya. Punggungmu yang biasa kau sampirkan ransel besar berisi text book tebal untuk kuliah, hari ini ia sangat tegap dan kuat. Kau pasti sangat bangga di hari bahagia ini.

Di atas karpet merah kau berjalan tegap, kemudian duduk di hadapan meja yang rendah bersama dengan dua lelaki paruh baya. Ah, manisnya...Ibumu mendekat dan merapikan jas putih kemudian kopiahmu. Pun di hari bahagia kamu bisa begitu terlihat kekanak-kanakkan?

Di belakangmu, Mas, aku tidak suka mereka. Lihatlah wajah mereka, saudara-saudara jauh yang suka menggunjingmu, meremehkan apa yang kau punya. Di kesempatan ini saja bibir mereka terlipat dan masih juga memandangmu dengan sudut mata mereka. Tapi hari ini kau berbangga lah. Semata-mata karena saudara jauh mereka, yang telah terbiasa mereka rendahkan, hari ini membawa seorang wanita cerdas dan anggun untuk bergabung dengan ikatan keluarga. Setelah hari ini pun, kau akan pergi untuk mengejar beasiswa studimu ke Belanda kan?

Ah, iya, Belanda.

Mengingat tempat itu hatiku jadi sedikit pilu. Dalam waktu yang tak lama lagi kau akan terbang dan mengejar mimpimu dan meninggalkan aku di sini. Di sini, di tengah kehidupanku sedangkan kamu mungkin membangun kehidupan yang berbeda denganku. Entah akan berapa lama akan kuhabiskan untuk melamunkan, apa yang kau lakukan di sana? Apakah studimu berhasil? Apakah kau bertemu dengan perempuan lain?

Sudahlah. Toh, setelah ini aku tidak perlu lagi menunggu.

Sapaan dari salah satu lelaki paruh baya dengan pengeras suara memecah lamunanku tentang kamu. Sang lelaki paruh baya—yang juga adalah seorang penghulu—mengecek segala administrasi yang diperlukan.

Namamu Dibagus Prasetyo? Benar.

Tempat dan tanggal lahir di Semarang, 29 Oktober 1986? Benar.

Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangannya yang dibalut jas hitam. Kau tersentak sedikit dan terdiam sejenak. Aku tahu di lubuk dadamu yang terdalam, jantungmu sedang sangat nakal berdetak kencangnya bak tanpa ampun. Sedetik kau menoleh dan mengatakan sesuatu. Tidak bersuara memang, tapi aku bisa membaca bentuk bibirmu yang melafalkan hari ini kau kelihatan paling cantik. Selaksa kalimat sederhana yang menimbulkan sensasi aneh yang pekat di dalam dada ini.

Mas, sesungguhnya gurat-gurat wajahmu yang begitu kentara membuat wajahmu paling cakap. Pandangan mata di balik dua kaca yang kau kenakan tidak pernah seteduh detik-detik ini. Sungguh, sorot wajahmu tidak pernah seindah ini. Rasanya ingin kusimpan dan kubawa ke keabadian.

Dengan satu tarikan napas, kau melafalkan syair-syair cinta dan terjalinlah suatu tali ikatan yang menggetarkan hingga ke Arsy-Nya. Satu kalimat sederhana saja dan resmilah dua individu menjadi kekasih hingga akhir keabadian, berjalan beriringan, membagi naik dan turunnya roda kehidupan dengan saling menguatkan.

Seluruh keluarga dan sahabat terdekat yang hadir dan menyaksikan momen syahdu yang hanya terjadi sekali dalam seumur kehidupanmu terenyuh dalam suasana bahagiamu. Begitu terhanyutnya hingga tidak jarang yang menitikkan air mata di sudut-sudut mata mereka.

Aku pun begitu. Senyumku terkembang tipis dan setitik air mata jatuh dari ujung mata kiriku. Turun perlahan namun aku tak peduli ia akan apa yang kusapukan dengan tipis di atas pipi.

Mas Bagus, kau akan selalu menjadi guruku yang kukagumi.

Dan di hari pernikahanmu, aku menjatuhkan diri dari lantai tiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun