Ketika media mulai ramai memberitakan para Cagub DKI Jakarta 2017, saya mendadak teringat pernyataan Mikhail Gorbachev yang terkenal: What we need is Star Peace and not Star Wars. Pernyataan Gorbachev memang lebih bersifat sindiran terhadap negara-negara adikuasa, yang kemudian mengglobal melalui kekuatan media massa, dan menjadi penanda sejarah pembubaran Uni Soviet di tahun 1991.
Sosok Mikhail Gorbachev, adalah contoh gambaran pemimpin inspiratif kelas dunia. Ia, bersama para pendukungnya, dengan bantuan kekuatan visual media massa, mampu mengemas visi misi mereka melalui pidato-pidato politik yang menggoyahkan pondasi negeri tirai besi. Ia menjadi “bintang” di media massa karena kemampuannya memvisualisasikan pikiran-pikiran futuristiknya yang membawa pembaruan.
Sepak terjang Mikhail Gorbachev menunjukkan bahwa pemimpin inspiratif adalah mereka yang mampu membangun persepsi rakyatnya tentang harapan masa depan. Ia berhasil meyakinkan pendukungnya bahwa harapannya adalah mimpi bersama, dan dengan mendukungnya, mimpi tersebut dapat menjadi realitas.
Saya pun lantas merenungkan bahwa pemimpin yang tepat bagi Jakarta seyogianya piawai memvisualisasikan visi dan misi untuk mewujudkan pembaruan nyata sebagai impian bersama. Kekuatan visual menjadi penting di era digital seperti sekarang ini. Popularitas seorang calon pemimpin, entah ia seorang artis, mantan artis, atau bukan, yang mengandalkan media cetak, elektronik, maupun internet untuk mempresentasikan dirinya, saat ini cenderung hanya membangun sebuah kesadaran palsu. Media massa membangun dukungan secara massal, melalui produksi kampanye atau berita, untuk menggerakkan manusia ke dalam industrialisasi pikiran yang seragam, yang dikatakan Enzensberger (1982) sebagai the industrialization of the mind. Industrialisasi inilah yang kadang mengaburkan kejernihan hati dan pikiran karena mengutamakan kepentingan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Bukankah kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan Gubernur Ahok melepaskan dirinya dari belenggu partai, dan memvisualisasikan kinerjanya melalui media untuk menjadi pemimpin yang dicintai warga Jakarta? Hasilnya, tidak sedikit orang yang (akhirnya) menerjemahkannya sebagai prestasi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Persepsi visual yang berpihak pada rakyat memang perlu dibangun secara terus-menerus untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan penduduk Jakarta yang berjumlah lebih dari 12 juta jiwa.
Jakarta bukan hanya berisi mal-mal dengan segala pesonanya yang mendorong orang untuk bertindak konsumtif. Jakarta juga adalah bentangan kehidupan kompleks di pinggiran rel kereta, bantaran sungai, lekuk liku gang-gang becek, dan catatan anak-anak jalanan. Jakarta adalah jajaran gedung, bangunan mewah dan himpitan rumah susun sederhana. Kota yang tak pernah tidur sepanjang pagi dan malam. Kota yang menjadi pusat gairah dan aktivitas masyarakat heterogen dengan beragam budaya, suku bangsa, dan agama.
Alhasil, para desainer yang direkrut untuk memvisualisasikan para calon pemimpin Jakarta kini dituntut untuk bekerja keras agar mampu menerjemahkan keinginan partai dan rakyat melalui kekuatan visual yang menggugah. Hal yang tak kalah penting, para desainer kampanye adalah bagian dari konseptor, agen ideologi, yang juga perlu memiliki tanggung jawab moral. Visualisasi pemimpin Jakarta bukan sekadar potret di atas billboard, spanduk, slogan, atau liputan aktivitas sosial di media. Penduduk Jakarta tidak membutuhkan “bintang televisi”. Penduduk Jakarta membutuhkan visualisasi seorang pemimpin inspiratif yang mampu membawa “penerangan” bagi warganya. Gambaran sosok pemimpin yang memahami, menjiwai, dan rasa memiliki terhadap kotanya, bukan sekadar menjual kisah faksi, alias fakta dan fiksi.
Visualisasi pemimpin Jakarta sudah seharusnya mampu menciptakan imajinasi yang positif, yang membangun harapan untuk kebaikan bersama, bukan sebatas fantasi dan kutipan janji. Antoniades (1992) mengatakan, imajinasi menciptakan hal-hal yang dapat menjadi atau dapat terjadi, sebaliknya fantasi menciptakan hal-hal yang tidak ada, yang tidak pernah dan akan terjadi. Maka, untuk memimpin Jakarta: We need a bright star, not a TV star. (WG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H