Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

E-mail: winny.gunartiww@unindra.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi "Manusia (Pemimpin) Ideal" a la Filsafat Cina

11 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 11 Juni 2016   10:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada keindahan kehidupan sosial yang selalu terjadi setiap bulan Ramadhan tiba, yaitu kala setiap orang di muka bumi berupaya untuk saling menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya dalam kehidupannya bermasyarakat. Gambaran sosok manusia yang pengasih, penyayang, pemaaf, bijaksana, pemurah, taat, penuh sopan santun dan jauh dari perselisihan atau perdebatan pun menghiasi hampir seluruh ruang visual di sekeliling kita. Setiap orang berjuang untuk mengekspresikan pengendalian ego yang “sempurna”. Ramadhan adalah sebuah momen untuk unjuk kemampuan menjadi  “manusia ideal”. Sebuah masa sebulan penuh untuk mewujudkan harapan yang tersimpan di setiap alam bawah sadar manusia.

Apa sesungguhnya manusia ideal?  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideal diartikan sebagai hal yang sangat sesuai dengan apa yang memang dicita-citakan atau dikehendakinya. Dengan kata lain, manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Persoalannya, apakah yang dicita-citakan manusia itu sudah sesuai menurut pandangan masyarakat? Ini disebabkan manusia adalah makhluk sosial, makhluk budaya. Persepsi idealitas manusia tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya di masyarakat, di tempat ia berinteraksi dan berkreasi. Lalu di manakah tempat masyarakat itu di dalam alam ini?

Pertanyaan itu pernah dilontarkan Konfusius, seorang filsuf yang melahirkan aliran Konfusianisme di masa Cina kuno (550-479 SM). Dalam buku H.J. Van Den Berg, dkk (1951) dituliskan bahwa di zaman Konfusius, Tiongkok pernah berada di era penuh kekacauan. Masyarakat tidak dapat menjalankan kehidupan yang baik karena tidak tahu bagaimana caranya. 

Konfusius lalu berpikir keras untuk menciptakan perubahan demi  masyarakat yang lebih baik. Ia pun melakukan penelitian tentang cerita-cerita sejarah, temuan-temuan artifak, dan naskah-naskah lama. Ia menuliskan banyak azas penting dari pedoman raja-raja zaman dulu. Untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan tertib, Konfusius mengambil contoh perilaku  raja-raja dari zaman purba. Ia merumuskan suatu struktur pemerintahan yang semestinya, bahwa setiap orang harus tahu dengan tepat di mana tempatnya dalam hidupnya dan apa kewajiban yang harus dijalaninya dalam masyarakat. 

Buah pemikirannya yang terkenal adalah, “Raja harus bersifat raja, hamba harus menjadi hamba, bapak harus bertindak seperti bapak, dan anak harus bersifat anak”. Bila dikaitkan pada masa sekarang, maka ungkapan Konfusius tersebut dapat ditulis ulang menjadi: “Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai menteri, seorang ayah bersikap sebagai ayah, dan seorang anak bersikap sebagai anak.”

Pandangan dasar Konfusianime di atas diinterpretasikan H. Purwanta (2009) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cina Klasik  sebagai peran penguasa yang tahu betul akan kedudukannya. Penguasa yang bijaksana dalam pemerintahan, serta senantiasa memerhatikan dan mengutamakan kepentingan rakyatnya, maka dengan sendirinya akan menciptakan masyarakat yang hidup penuh sejahtera dan makmur, karena dari sinilah tercipta suatu harmonisasi alam semesta.

Selama ratusan tahun, bahkan hingga kini, ajaran-ajaran Konfusius memberi pengaruh yang besar dan menjadi pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Cina. Paradigma Konfusianisme menekankan pada pembelajaran adat sopan santun, serta warisan nilai dan norma dari para leluhur, yang bisa dipelajari melalui peninggalan artifak dan naskah-naskah bersejarah. Dengan cara memahami struktur kemasyarakatan masa silam, dan mempersepsikannya dengan keadaan  masa kini, maka setiap individu dapat bertindak sesuai dengan peran dan fungsinya di masyarakat.  

Sosok  manusia ideal dalam pandangan Konfusius digambarkan sebagai manusia yang agung atau luhur (Purwanta, 2009), yaitu yang melaksanakan  li (adat istiadat atau etika) dan yi atau kebajikan pokok yang meliputi: integritas pribadi (ching), keadilan (i), kesetiaan (chung), toleransi (shu), dan perikemanusiaan (jen).

Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan adat istiadat, dan banyak ajaran nilai serta moral sebagai bentuk kearifan budaya. Jadi, untuk belajar menjadi “manusia (pemimpin) ideal” sebenarnya bukanlah hal sulit. Bukankah pada dasarnya, setiap orang  punya mimpi untuk hidup  tertib, damai, dan bahagia. (WG).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun