Figur publik Rocky Gerung sedang jadi perdebatan hangat lagi. Ini gara-gara sosok yang dikenal punya pemikiran-pemikiran kritis tersebut melontarkan sebuah wacana kontroversial tentang "Pancasila" di acara debat ILC di televisi (TV). Tulisan ini sekadar ingin mengajak para penonton atau pembaca untuk memahami kembali fungsi media TV.
Acara diksusi atau debat politik di TV yang bersifat langsung, dapat dikategorikan sebagai reality show.  Program Reality show  di TV  termasuk yang paling diminati penonton, meski pada dasarnya juga telah dikonstruksi sesuai dengan target yang ingin dicapai, dan tentunya demi meraup keuntungan iklan.
Dengan berkembangnya banyak saluran TV, saat ini  media TV harus pandai-pandai mendesain programnya agar tetap dapat menarik perhatian penonton,  dan menjadi sentra daya tarik visual.
Bukankah secara teoritis, media massa TV memang difungsikan untuk menyampaikan informasi, pengetahuan, propaganda, indoktrinasi, ideologi, iklan, reality show, juga hiburan.
Program Indonesia Lawyers Club (ILC) saat ini bisa jadi adalah program yang selalu ditunggu masyarakat, terutama yang menghadirkan "Rocky Gerung" sebagai partisipan. Rocky Gerung dalam ILC menjadi sosok yang ditunggu, "dirindukan" dan secara bersamaan menjadi yang "dibenci".
Ia menjadi ikon paradoks untuk meluruhkan kepenatan dari berbagai aktivitas harian. Ia menghipnotis jutaan mata penonton dan menjadi penghibur bagi suara hati yang mungkin tak mampu terucapkan, menerjemahkan segala kerumitan pikiran tentang bernegara, merasionalisasikan logika yang kompleks, menjadi tokoh menyebalkan bagi mereka yang tak sepaham, atau bisa jadi menjadi sosok idola bagi yang nge-fans dengannya.
Sebagai sebuah produk tontonan, tayangan TV dikonstruksi untuk meleburkan elemen-elemen visualnya yang sesuai dengan hasrat para penonton. Â Elemen-elemen visual tersebut meliputi partisipan, setting, dan topik yang disampaikan.
Ketika tayangan  TV  mampu menggugah emosi dan pikiran penonton, serta membangun persepsi visual tertentu, maka sesungguhnya tayangan tersebut dapat dikategorikan sebagai tontonan yang "berhasil". Karena dalam perspektif budaya visual, tayangan tersebut dianggap sukses mengkonstruksi tayangan yang memproduksi pengetahuan, bahkan "kebenaran".
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nicholas Mirzoeff (1999), bahwa tatap muka dengan teknologi visual adalah bagian dari upaya untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, makna, dan kesenangan dari penontonnya.
Di antara indikator yang menandai sukses atau tidaknya sebuah tayangan TV, terletak pada konten visualnya yang dianggap mampu memengaruhi cara berpikir masyarakat dengan cara-cara yang komunikatif dan menghibur.