"....Walang kekek, menclok ning tenggok, mabur maneh, menclok ning pari. Ojo ngenyek yo Mas , karo wong wedok, len ditinggal lungo, setengah mati....E...ya...ye... Ya...e...ya..."
Bagi generasi milenial, bait lirik ini mungkin terdengar asing. Tapi bagi pecinta lagu Keroncong, setiap untaian katanya pasti masih menggetarkan hati. Ini memang sebaris lirik dari lagu Walang Kekek yang populer di tahun 1968, dinyanyikan dan diciptakan oleh Waldjinah, sang legenda penyanyi Keroncong yang hingga kini terus menggugah  inspirasi kaum  perempuan, untuk terus semangat dan memperjuangkan jati dirinya di tengah masyarakat yang sarat nilai-nilai sosial budaya.
Kisah Waldjinah, penyanyi asal Solo kelahiran tahun 1945, dengan segala  upaya dan prestasinya untuk meletarikan seni  Keroncong, sangat menarik untuk divisualisasikan kembali melalui film animasi. Adalah Sumoro Prihartini, mahasiswi  Desain Komunikasi Visual, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, yang tergugah untuk menciptakan film animasi tersebut sebagai Proyek Tugas Akhirnya.
Film animasi berjudul "Waldjinah, Sang Pelestari Seni Keroncong" Â yang dibuat selama lebih kurang setahun itu telah melalui proses yang panjang. Â Merepresentasikan Waldjinah dalam rangkaian visualisasi bukanlah sebatas membuat gambar yang menyerupai sosoknya. Akan tetapi film animasi ini dibuat untuk bisa mewakili semangat Waldjinah sebagai Ratu Keroncong Jawa.
 Perjalanan dan beberapa lagu Waldjinah yang populer bisa dinikmati di film animasi ini. Waldjinah memulai debutnya di tahun 1958. Setelah mengantungi banyak kejuaraan  menyanyi, di antaranya Bintang Radio Republik Indonesia, namanya kian berkibar, bahkan sempat menjadi penyanyi langganan istana di era pemerintahan Presiden  Soeharto.
Sumoro mengatakan, perjalanan hidup Waldjinah sangat penuh warna dan liku. Berkat  Waldjinah pula musik Keroncong bisa dikenal oleh masyarakat luas hingga ke luar negeri. Â
Ibu Waldjinah juga pernah membuat program untuk melestarikan musik Keroncong dengan mengadakan kursus bernyanyi Keroncong secara gratis, bekerja sama dengan stasiun TV lokal, supaya grup Keroncong yang sudah tidak aktif lagi bisa semangat untuk kembali berkarya. Sayangnya, sedikit sekali media yang mengangkat kisah Waldjinah ini. Â Â
Seni Keroncong memang bukan sekadar irama dengan kekhasan langgamnya. Setiap kreasi dari ekpresi di bait liriknya dan intonasi di nadanya, lahir dari sebuah  proses kreativitas yang substantif. Dalam tulisan di Jurnal Desain, saya pernah menuliskan tentang makna kreativitas itu sendiri (Gunarti, 2013), bahwa kreativitas menjadi sebuah proses berpikir dan belajar untuk menemukan harmoni kehidupan yang membawa nilai-nilai baru yang mampu berharmoni dengan alam, dan membawa keindahan bagi sekelilingnya.  Dari pandangan tersebut, maka saya beranggapan film animasi adalah media audiovisual yang cukup potensial untuk mengangkat kembali harmonisasi dan keindahan  nilai-nilai budaya yang hampir terlupakan.
Oleh karena itu, desainer atau kreator memiliki peran penting untuk ikut melestarikan seni dan budaya Indonesia. Di antaranya dengan terus kreatif  menciptakan media berkonten budaya lokal, apakah itu berbentuk film animasi, komik, buku ilustrasi, infografis, visual novel, dan bentuk media lainnya.  Kalau bukan generasi penerus yang melestarikan kekayaan seni budaya bangsa, siapa lagi yang harus dituntut untuk peduli?  Â
Film animasi tentang Waldjinah ini seolah ingin mengingatkan kembali generasi milenial tentang tradisi seni musik Indonesia yang kian jarang ditayangkan di layar kaca. Bahkan di dunia maya pun, musik-musik tradisi seperti ini harus bersaing super ketat dengan serbuan musik-musik asing yang dianggap lebih kekinian.Â
Film animasi Waldjinah telah dipublikasikan di acara Pameran Karya Tugas Akhir DKV Unindra PGRI bertajuk "Paradoks" di Aula Gedung PGRI 14 September 2018. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah Waldjinah ini. Minimal, melalui film animasi ini, generasi milenial bisa ikut merasakan getaran hati dari musik Keroncong.