Mohon tunggu...
winner wibisono
winner wibisono Mohon Tunggu... Lainnya - urban tramp

menggelandang sambil merayakan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Bukan Hanya Aku; Menilik Kembali Konflik Lintas SARA

8 Agustus 2017   09:41 Diperbarui: 8 Agustus 2017   11:49 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih kuat hingga hari ini tendensi disintegratif dengan latar belakang SARA nyang terjadi di Indonesia. Kita pun tak dapat menempik bahwa konflik tersebut memang nyata ada di sekitar kita. Memang ada begitu banyak pula upaya dalam menyelesaikan permasalahan ini dengan membangun tren toleransi lintas suku, agama dan ras. Akan tetapi kita tetap tidak dapat menutup mata akan berbagai konflik yang nyata ada di hadapan kita.Lantas mengapa hal ini dapat terjadi, dan bahkan semakin kuat?

Saya akan mencoba mengurai fenomena ini. Saya akan mulai dari siapa kita sebagai individu. Kita (manusia) lahir sebagai sesuatu yang kosong. Belum mewujud. Kemudian kita mulai berinteraksi dengan lingkungan dan menerjemahkannya. Kita tumbuh dalam lingkungan kita dan menerjemahkan setiap proses, setiap fenomena yang kita alami. Kemudian lingkungan itu semakin meluas seiring perkembangan diri kita sebagai manusia. Kita terlibat dengan lebih banyak hal, seperti pendidikan, hobi, keagamaan dan dimana kesemuanya itu membentuk dan menjadikan diri kita, membuat kita dapat melihat siapa diri kita. Dalam setiap proses dari tiap lingkungan yang kita terlibat di dalamnya, kita sebagai makhluk social memiliki kecenderungan untuk ingin berinteraksi dengan pribadi lain. 

Dalam proses itu kita butuh adanya suatu ikatan. Identitas, kita mengikat diri kita dengan manusia lain dengan identitas kita. Dan kita melihat, mengidentifikasi diri kita dari manusia lain sebagai sesuatu yang sama sekaligus berbeda. Bahwa saya dan dia adalah sesama manusia dan sesama pelajar sma x, walaupun saya adalah penggemar sepakbola dan dia penggemar orchestra tapi identitas kami sebagai sesama siswa x telah mengikat kami. Itupun  menimbulkan empati ketika dia, sesama siswa x mengalami masalah saya turut merasakan itu sebagai kegelisahan saya. Karena saya menerima diri saya sebagai siswa x dan itu merupakan bagian dari diri saya sendiri.

Keterikatan ini terjadi dalam setiap aspek di kehidupan kita karena kesemuanya itulah yang menjadikan diri kita ada dan kesemuanya itulah diri kita. Kita yang awalnya kosong dan belum terbentuk menjadi ada dan mewujud.

Konflik yang terjadi dengan latar belakang SARA ini terjadi ketika kita sebagai bagian dari suatu entitas yang sama merasa di kerdilkan, mendapat perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan, tertindas, atau tersaingi. Suatu identitas yang bersifat horizontal timbul menjadi semacam sistem kelas yang abstrak. Hal ini mendorong kita untuk melakukan tindakan tindakan delusional yang dalam benak kita merupakan bentuk solidaritas sebagai bagian dari entitas tersebut. Kita masih tetap kita tetapi di saat yang sama berubah menjadi orang yang berbeda. Akan tetapi, ketika konflik ini terjadi dan saat kita memusuhi manusia lain yang kita anggap bukan bagian dari identitas kita, bukankah manusia tersebut sebenarnya bagian dari kita juga? Bukankah mereka ada dalam bagian lain dari identitas kita? 

Kita membela bagian dari diri kita tapi di saat itu juga kita tereduksi dari diri kita. Konflik dan permusuhan yang terjadi telah menghilangkan bagian dari diri kita; sebagai sesame pecinta sepak bola, sebagai kawan se almamater, sebagai bagian dari Negara indonesia, sebagai sesame manusia dan bagian dari dunia. Dalam sekejap hal hal tersebut tertampik dari bagian kehidupan kita seolah kita hanya memiliki identitas tunggal.

Saya tidak sepakat kalau kita harus menjadi sama agar dapat berdampingan karena pada dasarnya kita memang berbeda. Setiap manusia memang berbeda dalam multiidentitasnya. Tapi kita semua merupakan bagian dari hal yang sama pula, kita begitu berbeda tapi begitu sama pula. Kita harusnya menyadari kita adalah bagian dari keseluruhan identitas kita karena itulah yang menjadikan diri kita menjadi kita sendiri. Bahwa aku hanya akan ada dan menjadi aku yang utuh ketika seluruh bagian dari aku ada. Dan aku dapat terikat dan menyatu dengan manusia lain karena aku adalah bagian dari entitas yang sama sebagai pribadi yang berbeda. Integrasi dapat terjadi karena adanya perbedaan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun