“Wedges” yang digunakan oleh keluarga kerajaan dan bangsawan Eropa pada abad ke 15 sebelum akhirnya meluas dan menjadi mode bagi masyarakat dunia dikenal dengan nama Chopine. Model ini memiliki disain yang nyaris sama dengan Wedges, keduanya memiliki hak tinggi yang menyatu dengan shank. Perbedaannya, jika Wedges memiliki posisi tinggi di bagian tumit dan rendah di ujung kaki dengan bentuk berlekuk mengikuti postur telapak kaki, maka Chopine tidak berbeda dengan flat, alias datar tetapi meninggi di bagian tumit.
Perbedaan yang tak lazim dengan sepatu modern tersebut menjadi alasan bagi sebagian kalangan fashion untuk menolak Chopine dimasukkan dalam kategori high heels, apalagi jika dimasukkan dalam silsilah sebagai nenek moyang model Wedges. Di jaman itu memang semua sepatu memiliki satu platform dan tidak ada ruang yang kosong antara tumit dengan ujung jari kaki.
Sepatu model Chopine mencapai puncak popularitasnya di Italia, tepatnya di Venice yang menjadi pusat perdagangan dan pertukaran budaya tidak hanya antar negara Eropah, tetapi juga budaya dari Asia. Diduga bentuk dan disain Chopine juga dipengaruhi oleh alas kaki yang digunakan para pedagang dari Turki, juga berhak tinggi.
Jika Wedges dirancang untuk kebutuhan fashion sesuai dengan tuntutan penggunanya yang ingin tampil lebih menarik, Chopine juga dirancang dengan kebutuhan yang sama. Hal ini bisa dilihat dari disain Chopine dalam beragam warna dan ornamen yang mungkin di jamannya sedang “ngetrend”. Hanya bahan bakunya untuk bentuk platform yang besar dan tebal tersebut berasal dari bahan yang berbeda dengan Wedges rancangan Ferragamo.
Disainer Chopine nampaknya tidak mempedulikan kenyamanan penggunanya, mereka lebih mengutamakan sisi estetika dan status simbol para konsumen yang terbatas di kalangan keluarga raja dan para bangsawan, sehingga beberapa sepatu Chopine menjadi terlalu berat dan sulit untuk digunakan melangkahkan kaki khususnya bagi para wanita.
Tinggi rendahnya ukuran hak bagi Chopine juga memiliki makna khusus. Dibandingkan Wedges yang mengutamakan pada aspek penampilan konsumen, Chopine lebih mengutamakan tingkat kebangsawanan penggunanya. Semakin tinggi hak pada sepatu Chopine, maka akan semakin tinggi pula status sosial pemakainya. Cara berpikir yang simpel dari keluarga raja dan para bangsawan untuk melegitimasi status mereka di jaman itu, dilakukan dengan melarang masyarakat biasa memakai sepatu tinggi. Hal itu dapat diimplementasikan dengan baik pada hak sepatu Chopine.
Tetapi pada perkembangannya para wanita tuna susila kelas tinggi dan gundik para bangsawan di jaman itu juga menggunakan Chopine meskipun dengan ukuran sedang. Bagi mereka Chopine tidak hanya untuk mempercantik penampilan, tetapi juga turut meningkatkan kelas sosial meskipun sebenarnya hanya berprofesi sebagai perempuan nakal.
Dibandingkan dengan Wedges yang dijual untuk seluruh wanita yang peduli fashion sehingga dipasarkan dengan cara-cara modern melalui fashion show dan internet, Chopine terbatas digunakan oleh kalangan tertentu. Sejarah dan perkembangannya dari tahun ke tahun terdokumentasi secara terbatas. Sementara di dunia modern yang semakin tertata dengan dukungan aplikasi teknologi mampu mencatat setiap detil penemuan baru.
Jika Chopine menjadi bagian dari sejarah sepatu wanita dengan informasi yang minim, Wedges berada dalam situasi yang berbeda. Karya-karya Salvatore Ferragamo, khususnya sepatu Wedges tidak hanya terdokumentasi secara detil tetapi juga tersimpan dalam sejumlah museum, termasuk museum pribadi Ferragamo di Palazzo Spini Feroni, Italia. Di museum itu perkembangan sepatu Wedges karya Ferragamo dari tahun ke tahun dapat diketahui secara persis.
Meskipun secara umum Wedges maupun Chopine adalah perangkat fashion yang dirancang dengan mengutamakan segi estetika, sebenarnya jika dicermati maka akan ditemukan perbedaan fungsional yang sangat mendasar antara Wedges yang mewakili jaman modern dengan Chopine yang mewakili abad 15 sampai 17.