Jika jemariku diberi bakat untuk merangkai nada dengan tuts-tuts piano,saat ini akanku mainkan jemari ini di atas deretan si hitam dan putih itu.
Masih terputar baik dalam memori ini saat kamu yang disana dengan ringannya bermain-main nada dengan jari-jari lincahmu. Dan aku hanya duduk menikmati lantunan itu dengan segelas coklat panas dan sepotong roti coklat Keju yang dibakar.
Dia yang sudah jauh disana pernah berbicara tentang alat musik kesayangannya itu.
Aku bukan seorang yang pandai dalam merangkai nada di atas tuts-tust itu.Tapi aku suka dengan semua nada yang keluar dari tertekannya tuts-tuts itu. Tidak ada nada sumbang atau fals saat kita menyentuhnya. Dan ada satu perasaan yang sulit di dapat dengan cara yang mudah itu yaitu kedamaian.
Pernah kamu lantunkan lagu indah yang menggores hati, membuat luka yang tak kunjung kering sampai saat ini. Suara merdumu membawa ku mengusir rasa hampa. Aku hanya bisa terdiam dalam senyum dan berpura-pura itu semua tidak pernah terjadi. Meski terasa hati ini terseret-seret untuk mengenangnya lagi.
Sulit untuk diartikan atas rasa ini.
Aku disini menunggu jawaban, jawaban yang tak butuh pertanyaan. Karena semua ini hanya bisa dirasakan bukan diutarakan.
Diantara senja kota aku bediri tegak di bawah lembayung merah merona.
Kita pernah berjanji akan selalu berbagi dalam suka maupun duka. Tertawa dan meminjamkan bahu ketika diri tak sanggup akan peristiwa. Saling menghapus tetesan air mata dikala hati sedang terluka. Aku suka caramu memperlakukanku.
Kamu tidak baik, namun tidak jahat juga. Sedikit acuh namun romantis. Hahahahhaa. Sekali lagi dia bukan seorang picisan. Dia tak pandai merangkai kata untuk membuatku terpana. Dia terlalu urakan untuk ukuranku. Berfikir pendek dan sedikit cuek, atau bahkan mungkin sangat cuek. Tapi mengapa dia mampu membuatku terjatuh? Terjatuh dalam permaianan hidupnya yang tak pernah tentu arah.
Lagi dan lagi kamu membuatku terhanyut dalam perasaan yang tidak boleh ku lanjutkan. Tak bisa mengakhir dan sulit juga untuk ku jalani sendiri tanpa ada yang tahu. aku hanya bisa merasakan suatu rasa yang sulit untuk ku gambarkan. Senang bercampur takut dan serba salah.
Kadang aku berpikir mengapa tuhan menciptakan rasa fitrah ini padaku terhadapnya. Manusia yang sangat salah untuk aku curahkan rasa itu. Salah besar jika aku membiarkan.
Dan lagi aku Saat ini aku terlempar kembali pada masa itu. Masa di mana aku menjadi sesuatu yang tidak bisa aku pahami sendiri. Aku kini terjebak diantar perasaan yang tak pernah dimulai dan di akhiti. Aku bingung dan aku lelah dengan semua ini. Lagi-lagi aku butuh dia. Namun, dimana aku harus mencarinya? Bukan aku malu bertemu dengannya, atau pun aku muak terhadapnya. Namun, dia kini sudah bersama Tuhan dia disana. Dia hanya ada satu yang terlahir ke dunia ini dan dia yang terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H