Mohon tunggu...
Winis Tirtani Seaprila
Winis Tirtani Seaprila Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswi sastra inggris berumur 21 tahun yang menyukai traveling, buku, fashion, kuliner, fotografi, sejarah, dan lelaki cerdas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tuhan Maha Mendengar

28 Juni 2011   15:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa. Kepuhrejo, menjelang subuh

Kuangkat makhluk mungil yg menggeliat-geliat di atas kasur ke pelukanku. Wajahnya bulat seperti purnama tanggal lima belas, rambutnya hitam tipis menutupi sebagian ubun-ubunnya yang masih lembut seperti agar-agar. Pipinya tembam kemerahan, hidungnya mungilserasi depan bibir kecilnya yang terkatup lembut.

“Cuma ini yang tersisa, dok. Persediaan susu dan makanan sudah habis. Obat dan vitamin tinggal satu kotak, itupun cuma cukup untuk sehari melihat semakin banyak pasien di klinik kita”

Kedatangan Lasmi mengagetkanku. Dia menyodorkan sehelai selimut, dua pasang pakaian bayi bersih dan sekotak kecil susu formula.

“Terima kasih, Lasmi. Tolong didihkan air. Kita buat susu. Kasihan dia, belum minum” kataku sambil memandang makhluk kecil di gendonganku.

Tanpa banyak omong Lasmi menyerahkan selimut padaku kemudian beranjak ke dapur. Kudengar bunyi air dijerang. Kuhela napasku panjang dan mengucap syukur. Terima kasih, Tuhan. Kau kirimkan orang sebaik dia yang setia menemaniku tanpa pamrih selama pengabdianku di desa ini. Terima kasih untuk selimut dan susu ini, setidaknya untuk 2 hari ke depan bayi ini masih bisa bertahan hidup.

Tak lama Lasmi muncul kembali dengan sebotol susu hangat di tangannya. Kuselimuti tubuh makhluk kecil di pelukanku ini dan memberinya susu. Matanya terpejam tapi mulutnya aktif menyedot tiap tetes susu dari botol yg kupegangi. Aku tersenyum memandanginya.

Kualihkan pandanganku ke Lasmi yang berdiri di sampingku. Wajahnya tampak sangat lelah kurang tidur. Aku bisa melihat lingkaran hitam di bawah matanya. Meski ia selalu nampak bersemangat melaksanakan perintahku.

“Sebaiknya kau tidur dulu, Lasmi. Biar aku yang menjaga bayi ini dan kakaknya malam ini”

“Tapi, dokter kan juga belum tidur sama sekali” elaknya sambil memandangiku.

“Sudah, tidak apa-apa. Sejam lagi sudah subuh, kamu nanti kecapekan kalau tidak istirahat”

“Baiklah, dok” Dia mengangguk pelan.

Kuperhatikan sampai punggung Lasmi menghilang di kamar bagian belakang klinik ini. Kuhela napasku. Kuucapkan syukur lagi padaNya. Kupandangi makhluk kecil di pelukanku. Botol susunya hampir kosong.

“Lapar ya kau rupanya” bisikku sambil tersenyum kecil. Aku mengecup keningnya.

Kemudian aku menidurkannya di ranjang. Kutatap lekat-lekat matanya yang lelap tertidur. Betapa damai melihat sosok mungil ini dibuai alam mimpi.Andai ia tahu apa yangterjadi di sekelilingnya.Andai ia tahu kalau perempuan yang meregang nyawa melahirkannya ke dunia sudah tiada. Dan kini tinggal dia dan kakaknya, sebatang kara. Kakaknya bernama Fitri, gadis manis dengan rambut kepang dua berusia 8 tahun, berkulit sawo matang, meringkuk malang, memeluk lutut disebelah jasad ibunya yg ditutupi kain putih di ruangan sebelah. Kehilangan ayah saja sudah berat untuknya, apalagi harus kehilangan ibu di situasi genting macam ini. Bagai kiamat. Kuselimuti tubunya supaya tidurnya makin lelap. Kemudian kuambil satu-satunya selimut dari ranjangku. Selimut pemberian ibu. Dan aku beranjak mencari Fitri di kamar sebelah.

Mata gadis itu bengkak. Pipinya basah oleh air mata. Sedari tadi ia memanggil-manggil ibunya, berharap ibunya bangun dan memeluknya. Tapi sang ibu terbujur kaku di atas tikar pandan disebelahnya. Kusematkan selimut di tubuh gadis malang itu, kupeluk tubuh kurusnya dan kuelus-elus punggungnya agar ia merasa aman.

“Tuhan sungguh menyayangi ibumu, karena itu ibumu dipanggil lebih cepat” bisikku.

“TapiTuhan tidak sayang Fitri! Bagaimana Fitri dan adik bisa hidup kalau tidak ada ibu?” isaknya.

Aku terdiam, tak bisa menjawab pertanyaannya. Terlalu banyak kata-kata hilir mudik di dalam kepalaku sampai aku bingung harus mengucapkan yang mana. Fitri memelukku lebih erat. Gadis yang beberapa bulan ini sangat akrab denganku. Dia tidak pernah absen menemani ibunya untuk cek kondisi kandungan di klinikku. Bahkan saat tidak ada jadwal untuk cek dia sering datang berkunjung saat aku sedang bertugas. Dia selalu berdiri di sudut ruangan praktekku, mengamatiku memeriksa pasien satu persatu dengan penuh rasa antusias penasaran.

“Aku ingin jadi dokter!” ucapnya bersemangat suatu sore di klinik sesaat setelah aku membereskan meja kerjaku.

“Wah..bagus! Dokter yakin kamu akan jadi dokter hebat yang menolong orang banyak” kataku sambil mengusap rambutnya.

Dia mengangguk mantap.

Tapi kemudian desa ini dilanda kekeringan hebat. Bencana kekeringan paling parah dalam 10 tahun terakhir. Padi di sawah gagal panen, tanaman di kebun mati, sungai menjadi kering, ternak banyak yang mati karena kepanasan. Untuk minum saja susah apalagi harus untuk mengairi tanaman. Saat siang udara panas luar biasa tapi saat malam suhunya anjlok, dingin menggigit. Sebelumnya aku sudah mendapat informasi kalau desa ini sering mengalami kekeringan saat musim kemarau melanda dan memiliki jumlah penderita gizi buruk terbanyak se-kabupaten. Dan itulah yang menjadi alasanku untuk membuka klinik kesehatan di desa terpencil ini.

Dibantu Lasmi aku membagi-bagikan vitamin dan makanan untuk meningkatkan gizi kepada masyarakat desa. Mengadakan penyuluhan tentang pentingnya asupan gizi dan mengajarkan membuat makanan alternatif supaya kemereka masih bisa makan makanan bergizi ketika beras susah didapat. Mereka menyambutnya dengan suka cita, apalagi aku adalah dokter pertama yang praktek di desa ini. Kadangkala aku terharu ketika suatu pagi menemukan sekeranjang singkong atau ketela di depan pintu klinik. Karena tak punya uang mereka mengganti biaya berobat dengan mengirim hasil panen mereka. Padahal aku tak pernah mematok tarif berobat.

Kuperhatikan sekelilingku. Tiga orang balita dan 2 orang dewasa terbaring lemah di ranjang. Tubuh mereka kurus, kering dan lemah. Pipinya cekung dengan tulang pipi yang terlihat menonjol. Di pergelangan tangan mereka tertancap selang infus. Berita buruknya itu adalah infus terakhir yang tersisa dan sampai detik ini obat-obatan dan makanan yang kupesan dari kota belum juga sampai. Lasmi bilang kalau jembatan yang sebagai satu-satunya akses masuk desa ini rusak parah. Jadi menyebabkan pengiriman barang terganggu. Kendaraan yang biasanya memuat barang harus memutar lebih dari 20 kilometer.

Adzan subuh berkumandang menyusuri sudut-sudut kampung. Menyusup lewat celah-celah dedaunan. Menelisik melewati dinding-dinding bambu. Membangunkan umatnya dari tidur. Fitri melepaskan pelukanku. Matanya masih merah basah. Aku menuntunnya mengambil air wudhu. Tak lupa kubangunkan Lasmi agar ia tak melewatkan kewajibannya menghadap Tuhan.

Aku kembali ke kamar, menatap nanar wajah damai sang juru selamat. Dalam hati kupanjatkan doa.

“Tuhan, pemilik segala kasih di dunia. Tolong, dengar doaku lima menit saja.Tolong, lancarkan pengiriman makanan dan obat-obatan. Bila sampai besok belum datang aku tak tahu harus memberi mereka obat apa? Sedangkan makanan pun tak ada yang tersisa. Apakah Kau mendengarnya Tuhan? Jika Kau benar-benar mendengar kabulkan pintaku. Demi nama Bapa dan roh kudus. Amin”

Air mataku menetes perlahan. Aku terisak mengingat tak ada yang bisa kulakukan jika bantuan tak datang esok. Bagaimana dengan nyawa para pesakitan ini? Aku berjalan linglung menuju ruang belakang tempat penyimpanan obat. Tampak dua siluet putih. Lasmi dan Fitri bermukena sedang berdoa. Sayup-sayup kudengar lantunan doa mereka.

“Terima kasih ya Robb untuk nafas yang masih Kau pelihara hingga detik ini. Terima kasih untuk sejumput singkong sore tadi. Terima kasih Kau kirimkan adik kecil untuk Fitri. Kau kirimkan dia supaya Fitri tidak kesepian kan?! Ya Allah hamba titip Ibu Aminah. Semoga ia mendapat tempat yang indah di sisisMu. Terima kasih Ya Robb Kau kirimkan seorang sebaik dokter Fransisca yang rela mengabdi di desa kami yang terpencil ini. Berkahilah dia selalu Ya Allah. Tuhan Maha Pengasihdan Penyayang, kirimkan selimut untuk saudara-saudara hamba disini yang kedinginan. Kirimkan makanan bagi adik-adik hamba yang kelaparan. Kirimkan obat untuk mereka yang kesakitan. Kirimkan boneka untuk Fitri sebagai pelipur lara karena Kau panggil ibunya. Cukuplah Kau untuk hamba, Ya Allah. Kabulkan permintaan hamba. Amin ya robbal alamin.”

Di dalam hati kuamini doa mereka. Kulihat mereka berpelukan. Air mata membanjiri pipiku. Betapa aku menyayangi orang-orang desa ini. Dan sungguh aku takut harus kehilangan mereka karena tak bisa berbuat apa-apa.

Lasmi menghampiriku yang terduduk lesu di depan pintu. Dia mengusap air mata di pipiku.

“Masih tersisa dua potong singkong. Akan kuusahakan cukup untuk 5 orang pasien di klinik. Ada segenggam jagung yang bisa kucampurkan, agar dokter dan Fitri bisa makan. Dan ada sepotong ketela untuk mereka yang mengurus pemakaman ibu Aminah”

“Kamu juga harus makan, Lasmi! Ambil jatahku. Aku tak bisa membiarkanmu tidak sarapan lagi”

Lasmi tersenyum.

“Cukup Allah untukku. Dzikirku padaNya sudah mengenyangkan perutku. Aku permisi ke dapur dulu. Dokter istirahat dulu, nanti kalau sudah siap aku bangunkan”

Badanku sudah terlalu lelah untuk menyusulnya. Mataku terasa sangat berat. Benar kata Lasmi, aku butuh istirahat. Kuseret tubuhku ke kamar, kurebahkan di atas kasur. Tak lama akupun terlelap.

****

Lasmi membangunkanku, menepuk-nepuk lenganku. Samar-samar kudengar ada suka cita di suaranya. Masih dengan kondisi setengah sadar dengan rambut acak-acakan dia menarikku ke teras, menunjukkan sesuatu. Sebuah pick up di depan kami menurunkan muatannya. Aku mengucek-ucek mataku, tak percaya dengan apa yang kulihat. Jangan-jangan ini cuma mimpi. Kucubit lenganku. Aw! Sakit. Ini bukan mimpi.

Aku, Lasmi dan Fitri berlari menyambut berkardus-kardus paket suka cita. Dibantu mereka berdua aku membuka satu demi satu kardus. Kardus pertama berisi berlembar-lembar selimut tebal yang cukup digunakan untuk semua pasien di klinik. Kardus kedua berisi beraneka macam biskuit, roti, susu, singkong, dan berkarung-karung beras dan jagung. Kardus berikutnya ada obat-obatan lengkap yang kupesan. Juga ada vitamin dan infus.

Rasanya tak percaya. Baru beberapa jam yang lalu kami meminta pada Tuhan. Dia langsung mengabulkannya. Tunggu, apakah Dia juga mengirimkan boneka untuk Fitri? Di kardus terakhir aku menemukan sepucuk surat, stetoskop dan thermometer baru, dan di bagian dasar kardus aku menemukan benda berbulu lembut menyentuh kulitku. Sebuah boneka! Tuhan benar-benar mengirimkan sebuah boneka cantik untuk Fitri.

Kubaca suratnya, ternyata paket ini dikirim oleh ibuku dan teman-teman jemaatnya di gereja satu bulan yang lalu. Mereka menyumbang sekedarnya, semampu mereka setelah ibu mengumumkan keadaanku yang serba sulit disini. Dalam surat ibu berkata bahwa akan ada bantuan dari pemerintah pusat untuk membangun sumur-sumur baru dan tempat penampungan air di desa ini.

Oh, betapa Tuhan Maha Mendengar, bahkan sebelum kita meminta Dia telah mengirimkan apa yang kita pinta. Aku, Lasmi dan Fitri berpelukan erat. Tuhan yang kami sembah dengan berbagai cara dan kami sebut dengan berbeda nama ternyata memang cuma satu. Dan Dia telah mendengarkan doa kami. Pada diriku sendiri aku berjanji akan mengadopsi Fitri dan adiknya agar kelak cita-citanya jadi dokter tidak kandas begitu saja.

****

P.S: Ide awal cerpen ini sudah mengendap di otak saya selama awal tahun 2011. Baru setelah nonton film "?" garapan Hanung Bramantyo saya tergerak untuk mulai menuliskannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun