Â
UN atau Ujian Nasional merupakan ritual tahunan yang harus dilalui oleh setiap siswa kelas VI SD/MI dan sederajat, IX SMP/Tsanawiyah dan sederajat, dan XII SMA/SMK dan sederajat untuk mencapai suatu kelulusan. Perhelatan akbar ini terkadang menjadi suatu momok bagi sebagian siswa, karena UN memiliki target minimal kelulusan, yang apabila siswa tidak mencapai nilai tersebut maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus dan harus mengikuti ujian ulang yang tanggalnya telah ditetapkan pemerintah terutama Dinas Pendidikan.
Sampai saat ini, UN masih menjadi kontroversi dan perdebatan di kalangan dunia pendidikan dan masyarakat. Ada yang pro terhadap pelaksanaan UN dan tentunya ada pula yang kontra terhadap pelaksanaan UN tersebut. Tentu saja kedua kubu yang berbeda pendapat ini, masing-masing memiliki alasan yang kuat, baik yang pro mau pun yang kontra. Sudah dapat dipastikan, bahwa alasan yang mendukung diadakannya pelaksanaan UN adalah tentunya untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, yang memang pada kenyataannya masih tertinggal dibandingan negara-negara di dunia, bahkan di Asia Tenggara. Tetapi yang menjadi pertanyaan, benarkan UN dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia?
Saya sendiri sebagai penulis, merasa kurang setuju dengan diadakannya UN yang dijadikan sebagai standar kelulusan para siswa. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah mengikuti UN yang kala itu namanya UNAS atau UAN pada tahun 2003, ternyata Ujian Nasional ini sangat mempengaruhi diri saya secara psikologis. Stres yang berkepanjangan dan akhirnya jatuh sakit karena memikirkan hal yang belum pasti, lulus atau tidak? Selain itu otak yang terus-menerus diporsir untuk belajar tanpa mengenal lelah. Pada saat itu, nilai minimal kelulusan adalah 3.01 untuk setiap Mata Pelajaran yang diujikan. Hal ini dirasa cukup berat bagi saya dan juga teman-teman.
Pada saat itu, di sekolah tempat saya belajar tidak ditemukan sedikit pun kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Tidak ada guru atau pengawas yang memberi bocoran soal apalagi jawaban kepada para siswa. Alhamdulillah saya pun lulus, meski hanya mendapat nilai rata-rata 7,34 dari 3 Mata Pelajaran yang dijadikan standar kelulusan, namun dari lebih kurang 400 siswa yang mengikuti Ujian Nasional, ada 112 siswa yang dinyatakan tidak lulus, dan harus mengulang.
Berbeda ketika saya mengikuti Ujian Nasional Tingkat SMA yang dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2006, kecurangan mulai ditemukan saat pelaksanaan Ujian Nasional, ada saja pengawas yang memberikan bocoran jawaban kepada murid, melalui secarik kertas, yang kita sendiri tidak mengetahui kebenaran akan jawabaan soal tersebut. Bahkan sampai sekarang tradisi buruk seperti itu masih saja berlangsung.
Banyak sekali kelemahan-kelemahan dari diadakannya Ujian Nasional, selain dampak psikologis yang dialami siswa bahkan ada siswa sampai depresi karena Ujian Nasional dan banyak ditemukannya kecurangan-kecurangan, baik kecurangan yang dilakukan secara individu atau pun secara berjamaah.
Kalau kita berpikir secara logis, apakah tidak ada artinya perjuangan selama 3 tahun sekolah, dan hanya melihat nilai akhirnya saja. Padahal, dari sekian banyak siswa yang tidak lulus, banyak pula dari mereka yang memiliki nilai akademik yang luar biasa dalam sehari-harinya. Mungkin hanya kesalahan secara teknis saja yang menyebabkan siswa tersebut tidak lulus. Misalnya dalam mengisi lembar jawaban ia tidak terlalu pekat dalam mengisi lembar jawaban tersebuta, atau saking stresnya yang harusnya diisi dengan menghitamkan salah satu jawaban, ia malah mencoblosnya, mungkin teringat PEMILU kemarin, atau bisa saja saat jawabannya di cek oleh komputer ternyata komputernya error. Mengapa kecerdasan dan kepintaran siswa harus dinilai dengan komputer?
Ironisnya, siswa yang sehari-harinya biasa saja dalam akademiknya, bahkan terkenal kurang baik wataknya, malah dapat lulus. Seandainya dipikir, bukankah hal ini sulit dimengerti? Bila kita berbicara tentang Standar Nasional, hal itu pun akan sulit dipahami. Mohon maaf sebelumnya, tidak berniat untuk membandingkan. Tetapi logikanya kualitas pendidkan yang ada di kota, misalnya Jakarta, tentunya kualitasnya akan berbeda dengan yang ada di Papua. Lalu bagaimana Ujian Nasional dapat dijadikan standar untuk kelulusan secara nasional, sementara mutunya saja sudah berbeda.
Jika target kompetensi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Ujian Nasional, mengapa tidak lebih banyak ujian praktik dan soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa, bukannya berisi soal pilihan ganda yang bisa saja diisi dengan cap-cip-cup atau menghitung kancing bila sudah tidak lagi bisa mengisi jawaban soal ujian.
Ujian Nasional memang perlu, tetapi bukan sebagai tolak ukur atau yang menentukan kelulusan siswa dengan nilai minimal yang telah ditetapkan. Jadikan Ujian Nasional sebagai penentu seorang siswa untuk masuk Perguruan Tinggi (negeri atau swasta), dan bagi siswa/siswi SMP dijadikan sebagai modal untuk masuk SMA yang diinginkan ( negeri yang favorit), begitu pun dengan SD.
Saat ini, saya hanya bisa berdo’a semoga siswa/siswi yang telah menjalankan Ujian Nasional diberikan hasil sesuai yang diharapkan, dan bagi siswa/siswi yang belum melaksanakan Ujian Nasioanl, terus belajar dan berusaha, tentunya libatkan Allah sebagai penolong kita, supaya kita diberikan kemudahan dan kelancaran. Amiin
Sukses untuk kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H