Mohon tunggu...
Wing Wahyu Winarno
Wing Wahyu Winarno Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah dosen tetap di STIE YKPN (Yayasan Keluarga Pahlawan Negara) Yogyakarta, Jurusan Akuntansi.

Selain mengajar, saya juga memiliki beberapa kegiatan, misalnya menulis buku (sudah sekian puluh buku saya tulis), menulis artikel di surat kabar dan blog, serta aktif di kegiatan yang berkaitan dengan e-Government (misalnya perancangan renstra TI, penilaian Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, dan kegiatan serupa). Saya alumni FE UGM Jurusan Akuntansi (lulus 1987), Cleveland State Univ, Ohio (1994) dan PIA FE UI (2011).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengurangi Kemacetan Jakarta

8 September 2009   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:45 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak yakin kemacetan lalu lintas di Jakarta dapat dipecahkan dengan perluasan jalan dan pembuatan jalan baru. Saya rasa pembatasan kendaraan, misalnya tahun lama tidak boleh berkeliaran di Jakarta, juga tidak akan efektif. Saya juga tidak yakin mengurangi kepadatan penduduk bisa dilakukan dengan memperbanyak Operasi Yustisi dan penggusuran-penggusuran. Ada cara lain yang menurut saya cukup bijaksana. Cara tersebut saya uraikan di bawah ini. Memang cara ini bisa dianggap radikal, sulit, atau mahal. Tapi sebenarnya sangat masuk akal, bisa dilaksanakan, dan hasilnya cepat kelihatan. Diperlukan pemimpin yang berani (jadi ingat Bang Ali Sadikin ketika membangun Jakarta dengan Nalo dulu) dan kompromi berbagai pihak. Hasil pemilu 2009 agaknya cukup potensial mewujudkan ide ini.

Kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah kronis. Sebagian besar penduduk Jakarta sendiri, setiap bangun tidur pagi, sudah dihantui kemacetan yang akan mereka hadapi hari ini. Mungkin ada yang bertanya, bisakah kemacetan di Jakarta dihindari? Namun, mungkin sudah muncul pikiran lain: ya sudahlah, saya akan mencoba menikmatinya saja. Toh, para pembuat keputusan sudah tidak mampu lagi mengatasi masalah berat satu ini, selain masalah lain yang juga semakin menghantui masyarakat: banjir air kotor (tetapi kekurangan air bersih!), warga pendatang dan rumah kumuh, polusi air dan udara, tawuran tanpa sebab, dan seterusnya.

Untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas (dan masalah-masalah lain ikutannya) di Jakarta, harus dihilangkan penyebabnya. Selama ini Jakarta adalah kota yang paling menarik untuk mengadu nasib dan pencari kerja, mulai dari penduduk desa tanpa kemampuan apa-apa hingga para politisi elit yang sudah mapan tapi masih butuh tambahan rezeki. Menurut wawancara salah satu televisi swasta dengan tukang tambal ban di pinggir jalan, penghasilan si tukang tambal ban adalah Rp300.000/hari (kalau dia kerja 30 hari sebulan, berarti Rp9.000.000/bulan!). Suatu jumlah yang sangat sulit didapat di kampung halamannya. Lalu bagaimana menghilangkan daya tarik Jakarta? Baca artikel lengkapnya dengan mengklik tanda panah ke kanan di bawah ini.

Salah satu penyebab utama Jakarta macet adalah adanya 30-an lebih kantor kementerian (kementerian koordinator ada 3, kementerian ada 21, dan kementerian negara ada 10). Padahal menurut saya, para menteri (dan pejabat setingkat menteri), tidak harus berkantor di Jakarta. Kalau pada masa awal kemerdekaan hingga awal Orde Baru dulu, alasan para Menteri tinggal di Jakarta (selaku ibukota) adalah karena perlu berkoordinasi dengan Presiden dengan cepat. Namun pada masa sekarang, dengan adanya teknologi komunikasi yang sudah canggih, koordinasi tidak perlu lagi harus dilakukan dengan pertemuan fisik. Kalaupun pertemuan harus secara fisik, cukup satu bulan sekali atau pas ada masalah sangat penting yang harus dipecahkan bersama.

Kalau departemen disebar ke berbagai kota, maka efek sampingannya ada beberapa: (1) banyak urusan tidak lagi diselesaikan di Jakarta, tetapi bisa di daerah; (2) uang yang selama ini hanya beredar di Jakarta, bisa tersebar ke berbagai daerah; (3) daerah tidak lagi merasa dikesampingkan oleh Jakarta, karena juga ikut merasakan sibuknya mengurusi negara; mereka tidak lagi merasa sebagai "pelengkap penderita"; (4) perekonomian daerah dengan sendirinya akan meningkat; (5) pembangunan sarana dan prasarana publik di daerah seperti jalan, bandara, pelabuhan, komunikasi, dan sebagainya, akan segera meningkat; dan ujung-ujungnya (6) pencari kerja tidak melulu menuju ke Jakarta.

Pemerintah Pusat tidak perlu menerjemahkan usulan ini dengan "pengurangan kekuasaan", karena kekuasaan tetap dipegang oleh para birokrat dan pejabat yang selama ini ada. Yang berubah hanya lokasinya saja yang jauh dari Jakarta (bahkan di luar Jawa). Malah lebih baik kalau diterjemahkan sebagai "pemerataan kesejahteraan". Caranya adalah dengan menyebar kantor-kantor kementerian ke berbagai kota. Ada beberapa (tidak lebih dari lima) kantor kementerian yang tidak perlu dipindah keluar Jakarta atau ke luar Jawa.

Kementerian tersebut tidak perlu dipindah karena fungsinya, misalnya adalah Departemen Luar Negeri (karena harus banyak berurusan dengan kedutaan asing dan kedutaan asing harus berada di ibukota negara), Departemen Dalam Negeri (karena harus selalu mendampingi atau mewakili Presiden/Wakilnya dalam berbagai urusan tentang daerah, terutama Pilkada), Departemen Pertahanan (harus senantiasa melaporkan perkembangan situasi hankamnas ke Presiden), Departemen Keuangan (karena harus sering mendampingi Presiden dan Wakilnya dalam menghadapi tokoh-tokoh dari Internasional), dan Sekretariat Negara (setingkat kementrian, karena memang harus selalu berada di dekat Presiden dan Wakil Presiden).

Namun pemindahan kementerian sebaiknya tidak terlalu jauh karakteristiknya dengan lokasi barunya. Misalnya, Depbudpar sebaiknya diletakkan di Denpasar, Bali, karena mereka sudah bergelut dengan pariwisata setiap hari. Departemen Perindustrian mungkin lebih baik dilokasikan di Surabaya, karena saat ini merupakan salah satu kota besar industri yang relatif besar di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan sebaiknya ada di kota Makasar atau Palembang, yang sudah memiliki sejarah pelayaran dan kelautan sejak dulu kala. Berikut ini daftar yang agak lengkap tentang usulan saya di atas. Sudah barang tentu, ini masih bisa didiskusikan lebih jauh, karena ini hanya contoh.

Bagaimana komentar Anda?


Tabel 1. Contoh usulan lokasi baru beberapa kementerian

No
Departemen
Dipindah ke
Alasan khusus, jika ada

1
Kebudayaan dan Pariwisata
Denpasar
Bali merupakan tujuan wisata utama oleh para pelancong dalam dan luar negeri.

2
Energi dan SDM
Pekanbaru
Banyak minyak

3
Pendidikan Nasional
Yogyakarta
Terkenal sebagai kota pendidikan.

4
Komunikasi dan Informatika
Bandung
Sudah ada kantor pusat Telkom

5
Kelautan dan Perikanan
Makasar
Terkenal dengan pelaut Bugis dan kapal Pinisi

6
Perindustrian
Surabaya
Sudah menjadi kota industri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun