Mohon tunggu...
Wing Wahyu Winarno
Wing Wahyu Winarno Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah dosen tetap di STIE YKPN (Yayasan Keluarga Pahlawan Negara) Yogyakarta, Jurusan Akuntansi.

Selain mengajar, saya juga memiliki beberapa kegiatan, misalnya menulis buku (sudah sekian puluh buku saya tulis), menulis artikel di surat kabar dan blog, serta aktif di kegiatan yang berkaitan dengan e-Government (misalnya perancangan renstra TI, penilaian Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik, dan kegiatan serupa). Saya alumni FE UGM Jurusan Akuntansi (lulus 1987), Cleveland State Univ, Ohio (1994) dan PIA FE UI (2011).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berantas Korupsi? Pakai SITI Saja!

30 September 2009   11:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:39 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah banyak upaya memberantas korupsi yang kita lakukan. Sampai saat ini, baru KPK yang menunjukkan hasil lumayan. Itupun sudah diserang kanan kiri, oleh para petinggi dan institusi resmi negeri kita sendiri, agar KPK tidak punya gigi lagi. Ide terbaru malah KPK hanya diberi hak sampai menyelediki, sedang kewenangan menuntut diberikan kepada orang lain (yang selama ini diragukan kejujurannya). Di luar berbagai upaya yang telah dilakukan, saya mempunyai usul agar diterapkan penggunaan SITI (sistem informasi dan teknologi informasi).

Ringkasnya, semua koruptor (selama ini) lebih senang memegang uang tunai dan pemberiannya sangat sulit dibuktikan (meskipun beberapa bisa tertangkap basah, oleh KPK, bukan yang lain). Uang ini akan dibelikan harta tetap (misal: rumah, tanah, mobil, perusahaan) dan biasanya memakai nama orang lain yang sangat dipercaya, sehingga sulit dilacak. Nah, kita tinggal melacak seseorang yang tiba-tiba punya uang milyaran rupiah tanpa bisa menjelaskan darimana asalnya. Hal yang paling sederhana yang bisa dilakukan oleh negara adalah: suruh dia bayar pajak penghasilan atau pajak bonus. Hal yang terjauh adalah sita uang dan hartanya untuk negara. Nah, bagaimana memanfaatkan SITI secara rinci, akan diuraikan di bawah ini. Penggunaan KTP atau identitas tunggal, bisa diabaikan dulu (meskipun kalau ada, akan "lebih cepat, lebih baik").

Memberantas korupsi sambil meningkatkan penerimaan negara dari pajak itu gampang. Menurut saya, malah gampang banget. Caranya adalah pakai sistem komputer. Memang komputer bisa di-hack dan dicurangi, tetapi juga bisa diamankan dengan baik. Sistem komputer bisa di-hack, kalau penyelenggaranya tidak perhatian penuh. Sebaliknya, kalau sistemnya sudah dijalankan dengan baik (dan saya yakin bisa, nyatanya juga tidak banyak laporan mengenai pengrusakan situs Internet banking di Indonesia kan?), dan pejabat yang berwenang mengurusi penerimaan pajak ini konsisten menjalankan aturannya, penerimaan APBN akan meningkat drastis (saya sangat yakin hal ini).

Kalau penerimaan APBN sudah meningkat, negara punya duit banyak, lalu dipakai untuk membangun sarana publik seperti jalan Trans-Sumatera, Trans-Kalimantan, Trans-Jawa, Trans-Sulawesi, dan Trans-Papua (semuanya di pulau besar), maka perekonomian akan tumbuh di seputar jalan trans tersebut. Kalau perekonomian tumbuh, berarti pajak juga akan bertambah. Kalau pajak bertambah, duit negara akan tambah banyak lagi, dan berarti bisa membangun lebih banyak lagi. Bagaimana kalau uang negara tambah banyak yang dikorup? Ah, lagi-lagi, sistem informasi bisa mencegahnya. Hanya sayang, selama ini, belum banyak pejabat negara yang punya wawasan ini.

Menurut saya, Kabinet 2009-2014 pun masih belum bisa memberantas korupsi, karena ketiga pilar penyelenggara negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, masih belum bisa membersihkan diri dari perbuatan keji ini. Namun, sebelum memberantas korupsi, ada satu hal penting yang dapat kita lakukan, yaitu meningkatkan penerimaan pajak negara dengan memanfaatkan teknologi informasi. Bagaimana caranya? Secara ringkas saya uraikan ya.

Masalah utama kita adalah banyaknya uang negara yang hilang entah kemana. Uang hilang ini pasti diambil orang kan? Tidak mungkin lah hanyut oleh tsunami atau dicuri tuyul. Nah, kalau seseorang mencuri uang negara (kita sebut koruptor aja ya dia?), lalu uangnya kira-kira untuk apa? Biasanya pasti untuk beli rumah, beli tanah, beli mobil (mewah), buka rekening di bank, dan (terutama para hidung belang) buat nambah istri lagi. Sebenarnya, semua transaksi tersebut dicatat menggunakan komputer. Nah, catatan ini mestinya dapat diakses oleh kantor pajak, katakanlah setiap bulan.

Misal Si Kabayan baru beli mobil Honda Jazz seharga Rp150 juta (anggap saja dari uang haram). Si Kabayan mendaftarkan mobilnya ke Samsat. Akhir tiap bulan, Kantor Pajak meminta data pendaftaran mobil dari Samsat. Si Kabayan akhirnya tercatat datanya di Kantor Pajak. Pada akhir tahun, Kantor Pajak mencocokkan, apakah Si Kabayan sudah melaporkan SPT (dan menyetor pajaknya). Kalau Si Kabayan ternyata sudah melaporkan penghasilannya dengan benar (jumlah penghasilannya pantas lah untuk bisa membeli Honda Jazz tadi), ya sudah, tidak perlu ada tindak lanjut.

Namun bila ternyata Si Kabayan ternyata tidak melaporkan SPT dengan benar (misalnya saja penghasilannya hanya cukup untuk beli sepeda motor), maka Kantor Pajak dapat mengirim pesan (surat, telpon, SMS) kepada Si Kabayan untuk mengoreksi SPT-nya. Kalau dia tidak mau, bakal kena sanksi sesuai aturan yang ada.

Bagaimana kalau Si Kabayan mendaftarkan mobilnya memakai nama orang lain, misalnya Si Cipluk? Berarti Kantor Pajak akan mencocokkan, apakah SPT Si Cipluk sudah wajar (penghasilannya cukup untuk membeli Honda Jazz)? Bila belum, Si Cipluk yang ditagih. Kalau Si Cipluk mengaku bahwa dia cuma disuruh Si Kabayan, nah, Si Kabayan yang dikejar.

Proses ini juga dapat dilakukan untuk pembelian aktiva yang lain, seperti tanah (dicatat BPN), rumah (oleh Dinas Tata Kota/Kimpraswil), deposito dan kartu kredit (oleh bank), dan pendirian perusahaan (oleh Deperindag dan Depnaker).

Cara di atas bahkan tidak memerlukan adanya Nomor KTP Tunggal atau Single Identity Number, karena hal ini belum bisa diwujudkan di Indonesia oleh kabinet yang sekarang. Jadi paling gampang ya pakai nama orang saja (kalau sudah ada sih lebih baik ditambah tanggal lahir dan kodepos, sukur-sukur nomor KTP). Bagaimana kalau Si Kabayan memakai nama Aa Kabayan pas beli mobil? Tidak apa-apa, di laporan pajak, Si Kabayan sudah ada (dan penghasilannya kecil, tidak cukup untuk beli Honda Jazz). Tetapi, nama aliasnya, yaitu Aa Kabayan, belum ada di Kantor Pajak. Jadi, Kantor Pajak akan “mengejar” nama Aa Kabayan dan menagihnya untuk membayar pajak (dan memperbaiki SPTnya yang memakai nama Si Kabayan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun