Apa yang kupunya? Paras, kredibilitas, kualitas? Semua orang jauh lebih berkelas dari diriku yang hanya sebatas abu yang mudah terhempas.
Jika menilik pada kelebihan diri, jelas, tak ada poin yang bisa kujadikan andalan. Dari sisi mana diri ini bisa dibanggakan. Titik tumpu terakhirku hanyalah pendidikanku, yang dengannya derajat manusia akan terangkat, yang dengannya manusia 'kan terlihat manfaat hadirnya, yang tanpanya manusia akan hidup nestapa.Â
Sudah saatnya mematri dalam diri bahwa pendidikanku saat ini tak akan kujadikan sebagai ajang perlombaan untuk menentukan siapa yang paling terdepan. Aku hanya perlu menambah pengalaman, belajar lebih dewasa dari karakterku yang sebenarnya masih kekanak-kanakan.
Asaku masih tetap sama, ingin berkelana ke tiap sisi penjuru dunia. Rasanya menyenangkan akan mendapat hal-hal baru yang belum pernah terbayangkan. Karena inginku itu kiranya, Allah menakdirkanku untuk mempelajari bahasa kalam-Nya sebagai langkah pertama. Saat bahasa kalam-Nya itu terkuasai, siapa tahu bahasa lain mengikuti.Â
Jadi teringat pesan dari buku yang pernah kubaca, bahwa seseorang yang tak terkenal dengan kemahirannya dan mungkin tak terlihat memiliki nilai untuk dibanggakan bisa menjadi orang besar dihari kemudian.Â
Nasib baik itu tidak hanya memihak beberapa orang kawan dan takdir terlalu sulit untuk ditebak. Akan kita lihat nanti, saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa dia hanya akan memihak para pemberani, yang berani mempertahankan dan memperjuangkan mimpinya, bukan hanya sekedar angan tanpa tindakan.
Memang terkadang kita dipusingkan oleh pikiran sendiri, merasa tertinggal padahal bukan dalam ajang perlombaan. Kita hanya perlu fokus dengan target diri, tak perlu pusingkan kehidupan orang lain, karena ada ranah dalam dirimu sendiri yang menantimu untuk menyemainya dengan lembutnya tangan-tangan sang pemimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H