Mohon tunggu...
Windy Nispiani
Windy Nispiani Mohon Tunggu... -

Dengan pena aku berkarya, dan dengan mimpi aku menggenggam bintang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Sederhana

21 Juni 2013   22:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

I hate Monday, begitulah orang-orang bilang. Hari senin, hari yang dibenci kebanyakan orang. Lain halnya dengan Nada Rania, siswi kelas XII di salah satu SMA favorit. Ia paling suka hari senin. Menurutnya, hari senin adalah hari yang paling indah sekalipun dibandingkan dengan hari libur sedunia. Bagaimana tidak, setiap hari senin ia dengan bebasnya memandangi salah satu siswa yang ia idolakan. Siswa yang dengan rajinnya mejeng di lapangan upacara menjadi pemimpin upacara, dan kalaupun tak menjadi pemimpin upacara ia tetap bisa memandang idolanya itu. Karena barisan kelasnya bersebelahan dengan barisan kelas idolanya itu. Dan acapkali ia ada di barisan paling depan sejajar dengan idolanya.

Namanya Fahish Mahesa Putra. Siswa yang akrab disapa Esa itu memang membuat Nada sedikit mengalihkan dunianya. Esa yang jadi danton sekaligus ketua PASKIBRA, Kapten Futsal, juga ketua OSIS membuat Esa jadi idola sekolah. Tapi ada sisi lain selain kagum yang dirasakan Nada pada Esa.

Setiap hari saat jam istirahat tiba, Nada duduk di bawah pohon rindang yang jadi tempat tongkrongan favorit seantero sekolah. Dengan senyum riangnya, ia menatap lapangan sekolah dan memainkan pena kesayangannya. Yang membuat ia rajin berada di bawah pohon rindang itu tentu saja Esa. Esa dan club Futsalnya sering bermain Futsal di lapangan sekolah saat jam istirahat. Sesekali Esa melihat Nada yang tersenyum menatapnya, sesekali nada menunduk malu karna kepergok sedang memandang Esa. Begitu yang dilakukan Nada setiap hari di sekolah, lebih senang menghabiskan waktu istirahat di bawah pohon rindang daripada berkumpul dengan teman-temannya. Kecuali bila saat istirahat itu tak ada Esa yang bermain futsal di lapangan sekolah.

* * *

“Kak, kak Nada yah? yang jago nulis itu kan? sama jago bahasa inggris juga?”, tanya Esa membuyarkan lamunan Nada yang duduk santai di lobi sekolah.

“Hah? Jago nulis sama bahasa Inggris? Kamu kata siapa? Ngarang banget”, setengah kaget dengan hati berdebar Nada menjawab pertanyaan Esa.

“Ya taulah Kak, tulisan Kakak mejeng terus di mading. Tulisannya juga kebanyakan bahasa Inggris”, jawab Esa meyakinkan.

“Hmm...kamu berlebihan banget. Cuma tulisan biasa, siapapun bisa”.

“Ya tetep aja kakak hebat, saya salut. Oh iya, kenalin saya Fahish anak kelas XI IPA 2. Tapi orang-orang manggil saya Esa”, Fahish mengulurkan tanggannya pada Nada.

Dengan senyum manisnya, Nada menerima uluran tangan Fahish seraya bergumam dalam hati, “Seluruh sekolah pun tau siapa kamu. Tapi kamu ga tau siapa aku”. Tapi pernyataan Fahish yang tahu tentang Nada itu cukup membuat Nada senang. Bagaimana mungkin seorang Fahish Mahesa Putra tau tentangnya. Tau namanya pun tak pernah terpikir oleh Nada. Dan sejak hari itulah hidup Nada semakin berwarna dengan adanya Esa.

Esa sering bertukar cerita dengan Nada. Mulai dari pelajaran, keluarga, sampai tentang perasaan. Tapi Esa ingin Nada mengajarkan bahasa Inggris, karena Esa merasa kurang pandai berbahasa Inggris. Dan dengan senang hati, Nada mau mengajarkan Bahasa Inggris hingga Esa benar-benar fasih berbahasa Inggris. Selain itu, Esa pun sering meminta bantuan Nada tuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Karena Nada tau Esa sangat sibuk dengan organisasinya, Nada pun tak segan-segan membantu Esa. Meski Nada pun nyatanya sibuk menghadapi Ujian Nasional, tapi Nada tak pernah merasa terganggu sedikitpun dengan tugas-tugas Esa. Ia malah rela tidak tidur sampai pagi demi mengerjakan tugas Esa, sampai-sampai Nada sakit. Nada terlalu lelah, kurang beristirahat, dan banyak pikiran. Tapi Nada tak pernah mengeluh dan tak berhenti membantu Esa. Esa tak pernah tau bagaimana keadaan Nada, yang Esa tau tugasnya selesai. Dan Nada pun tak pernah memberi tau Esa kalau kondisinya memang lemah. “Biarlah, demi Esa”, batin Nada tersenyum.

* * *

“Kak Nad, ini buku kakak. Kemaren ketinggalan di rumah saya”, Esa memberikan buku Nada.

“Hah, buku itu kan isinya curhatan aku semua. Curhatan tentang Esa”, pekik Nada dalam hati seraya mengambil bukunya dari tangan Esa.

“Aku ke kelas dulu ya kak”, sambil tersenyum Esa meninggalkan Nada dan beranjak ke kelasnya.

Seperti biasa, sepulang sekolah Nada mampir ke rumah Esa untuk mengajarkan Bahasa Inggris. Kali ini Nada sedikit kaku, bicaranya tak lugas seperti biasanya. Dan dengan penuh rasa takut, Nada melontarkan pertanyaan pada Esa.

“Esa, kamu baca isi buku ini gak?”.

“Baca, sedikit kak”, Senyum Esa membuat Nada semakin malu.

“Jadi kamu baca?. Aduh maaf yah Esa, saya ga bermaksud....”, Nada tertunduk menghentikan perkataannya dengan wajah pucat.

“Ga apa-apa kak. Saya seneng dengan semua perhatian kakak. Saya seneng dengan cinta yang kakak kasih. Ga usah takut dengan itu kak. Justru harusnya kakak bahagia karna masih punya kesempatan untuk mencintai. Dan saya senang dengan cinta itu. Saya yang harusnya minta maaf karna udah lancang baca buku kakak tanpa seizin kakak”, Esa berbicara tanpa keraguan sedikitpun seperti halnya Nada.

Dengan perasaan malu, Nada berusaha tersenyum di depan Esa. Tapi yang terjadi dibalik sneyum itu, airmatanya tak henti menetes. Ia tak tau apa yang terjadi setelah ini. Ia kalut. Selama ini ia berusaha menutupi perasaannya. Tak ada yang tau tentang perasaannya terhadap Fahish. Sejak pertama bertemu, ia menyukai Esa. Bukan sekedar mengagumi. Mungkin itu yang disebut cinta pada pandangan pertama. Selama 2 tahun ia menyimpan perasaannya itu, dan akhirnya Esa pun harus tau.

* * *

Nada menyeka matanya yang basah. Masih teringat tentang percakapannya dengan Fahish sepulang sekolah.

“Esa, kayanya kakak harus menjauh dari kamu..”

“Maaf ya kak, aku selalu ngerepotin. Aku malu sama kakak. Kakak terlalu baik. Sedangkan aku? Ga pernah ada kebaikan yang aku kasih buat kakak. Kalau emang kakak ngerasa ga nyaman dengan kebaikan kakak juga dengan ga ada feed back dari aku, aku rela kakak menjauh. Daripada begini terus, ga enak sama kebaikan kakak.”

Nada terdiam, matanya basah. Ia berusaha menahan tangis dan menguraikan semua yang ada di benaknya.

“Esa, aku bukan ga nyaman. Aku ga pernah ngerasa baik sama kamu. Dan kalaupun yang aku lakuin adalah kebaikan buat kamu, aku seneng. Tapi aku ga pernah berharap ada feed back dari semua itu. Aku Cuma takut kalo kamu ga ingin dicintai. Itu aja...”

“Bukan tak ingin dicintai, aku seneng banget dengan cinta kakak. Tapi kebaikan kakak buat aku malu. Malu ga bisa berbuat banyak seperti kakak. Aku bisanya Cuma ngerepotin, dan terkesan manfaatin kakak. Jujur, aku memang canggung setelah tau perasaan kakak. Aku ngerasa ga pantes buat orang sebaik kakak. Aku ga ada apa2nya kak, aku ga sebaik yang kakak kira. Dari awal kita niat belajar bareng, bukan terjerumus dalam perasaan. Kakak tau kan, aku punya prinsip yang ga mungkin aku langgar”, jawab Esa dengan tegasnya.

“Aku...aku ga pernah punya niat mencintai kamu Esa. Tapi cinta itu datang dengan sendirinya. Aku tau prinsip kamu, memprioritaskan akademik...No time for love. Tapi dengan perasaan ini, aku ga bermaksud menggoyahkan prinsip kamu Esa. Itu makanya, aku takut kamu ga ingin dicintai, takut kamu merasa keganggu dengan kehadiran aku”.

“Ngga kak, aku ga pernah ngerasa keganggu. Aku tau kakak bukan tipe orang yang mengharapkan imbalan dari setiap kebaikan yang kakak lakuin. Aku bangga sama kakak, teruslah jadi orang baik tanpa imbalan. Maaf kak, maaf banget....aku belum bisa bales cinta kakak saat ini. Dan semua kebaikan kakak belum aku bales. Aku ga mau kakak sakit hati dengan membuang waktu tuk menyayangi aku. Suatu hari, kakak akan benci sama aku dan menjauh dari aku”

"Aku cuma anggap kamu idola. Karna aku tau, kamu ga mungkin suka sama aku kan?. Seorang idola ga mungkin suka sama penggemarnya, apalagi cinta. Tapi apapun yang aku lakuin buat kamu, sama sekali bukan karna aku berharap kamu ngebalas cinta aku. Bukan, bukan karna itu. Kamu pasti tau apa artinya ketulusan. Kamu juga tau kan, ketulusan itu hanya memberi...ga pernah berharap diberi. Yang aku tau, aku cinta kamu...dari sini (menunjuk hati). Aku ada deket kamu aja udah seneng. Kamu ga perlu berusaha jauh dari aku, tanpa kamu menjauh pun..aku akan menjauh asal kamu bahagia. Do'a aku ga pernah selesai buat kamu.....", dengan langkah gontai gadis itu pergi meninggalkan cintanya..

* * *

Fahish tertegun menatap seorang gadis di depannya. Gadis berkerudung, cantik dengan balutan toga. Senyum manisnya mengingatkan Fahish pada seseorang 4 tahun silam. Tapi semakin dilihat dengan jelas, ia semakin yakin bahwa gadis cantik itu adalah perempuan yang selama ini ia cari. “Benarkah itu Kak Nada?”, tanya Fahish dalam hati.

“Kak Nada?”, Fahish menghampiri gadis itu dengan ragu.

“Ya, Saya Nada. Kamu?. Hmmm....sebentar. Wajah kamu familiar yah”, Nada berusaha mengingat. “Astaghfirullah....Esa? Kamu Esa kan? Fahish Mahesa Putra?”, Nada meyakinkan.

“Iya kak, ini Esa. Kakak kuliah disini? Sekarang wisuda?”.

“Iyah, aku kuliah disini. Alhamdulillah....lulus juga. Kamu, kuliah disini juga?”

“Iyah ka. Aku juga kuliah disini. Ko bisa yah satu kampus, selama 3 tahun kuliah ga pernah ketemu kakak?”.

Nada masih tak percaya ia dipertemukan lagi dengan Fahish, cinta pertamanya. Ia hanya tersenyum dengan hati bahagia. Bertemu orang yang masih ia simpan namanya hingga kini adalah hadiah terindah di hari kelulusannya. Sekalipun ia menyayangkan, kenapa beratahun-tahun ada di kampus yang sama tapi baru ketemu hari itu? takdir Tuhan memang tak pernah diduga. Setelah hari itu, Esa mengajak Nada bertemu di suatu tempat. Banyak hal yang ingin mereka bicarakan. Melepas rindu karna lama tak bertemu, atau juga memang rindu karna merasa kehilangan satu sama lain.

* * *

Nada dan Fahish hanya saling menatap, ditemani segelas minuman favorit mereka. Hampir setengah jam mereka hanya duduk terdiam membisu di kursi sebuah cafe. Tak ada yang berani memulai percakapan, keduanya merasa canggung. Hanya sesekali tersenyum, minum, dan begitu terus. Sampai keduanya memulai pembicaraan secara bersamaan.

“Kamu dulu aja Esa”, Nada tersenyum menatap Esa.

“Kakak aja dulu, ladies first”

“Malah ngebalikin, kan kamu yang ngajak ketemu. Kamu dong yang ngomong duluan”.

“Oke, saya yang mulai”, Esa mengalah. “Kak, sekarang siapa pengisi hati kakak?”.

Nada kaget dengan pertanyaan Esa.

“Hah? Pengisi hati? hmm....seseorang”, Nada tersenyum malu.

“Seseorang itu, siapa kak? Ada di masa lalu kakak atau di masa sekarang?”

“Dia selalu ada di masa lalu, sekarang, dan masa depan saya...”, Nada menatap Esa tajam.

“Apakah orang itu....aku?”, Tanya Esa gugup.

“Kamu? Sejak kapan kamu mau jadi pengisi hati aku Esa?”, Nada tertawa kecil.

“Sejak lama. Ada banyak hal yang belum kakak tau...”

“Oh ya? Apa yang belum saya tau? Ada yang berubah setelah 4 tahun?”, Nada sedikit serius menatap Esa

“Iyah kak. Aku ingin kakak tau, kalau sebenarnya....sejak dulu...akupun mencintai kakak. Tapi karna aku punya prinsip yang ga akan pacaran sebelum lulus sekolah, makanya aku cuma bisa diem. Sebenernya aku ga tega ngeliat kakak nangis waktu itu, aku ga tega nyakitin kakak. Tapi prinsip menghalangi perasaan itu kak. Aku mau tanya sama kakak, masih adakah nama aku di hati kakak?”

Cukup lama Nada terdiam. Matanya nanar dengan kenangan masa lalu. Airmatanya tak terbendung lagi, menyeruak membasahi pipinya. Dengan sekuat hati, ia berusaha menjawab pertanyaan Esa.

“Sejak pertama kali mencintaimu, sejak itu pula aku bertekad menyimpan nama kamu bukan hanya di masa itu, tapi sampai detik ini bahkan selamanya aku akan menyimpan nama kamu di hati aku”, Nada berkata penuh isak tangis.

“Tuhan selalu punya cara tuk mempertemukan kedua insan yang tulus menjaga hati. Aku mau kakak selamanya menemani hidup aku. Aku mau kakak yang jadi pengisi hati aku tuk selamanya”.

“Esa, kamu yakin? Kamu lebih muda Esa. Masih banyak yang seumuran sama kamu”

“Cinta bukan perkara usia, bukan juga logika, tapi perkara hati. Hati aku dipilih kakak, dan akupun memilih hati kakak. Cinta punya waktu. Dan dulu, 4 tahun lalu bukanlah waktu milik kita. Ini saatnya waktu kita kak, waktu kita menyatukan cinta dan mengikatnya dengan tali suci”, papar Esa.

“Subhanallah, keajaiban cinta”, Nada bergumam penuh haru.

“Ini cinta sederhana kak. Cinta tulus yang memberi segalanya tanpa berharap menerima, cinta yang menanti tanpa mengenal lelah. Ini sederhana....”

Keduanya tersenyum dengan haru. Dan detik itupun Esa mengulurkan cincin di jari manis Nada, dengan kemudian bersatu dalam ikatan tali suci. Mereka berjanji selalu menjaga hati dalam keadaan apapun, hingga maut memisahkan.

* * *

Cinta memang tak pernah bisa ditebak kapan ia datang dan pergi. Cinta pun aneh, bisa membuat orang bahagia bahkan terluka. Cinta juga bisa membuat orang menjadi bodoh dan cerdas. Cinta bisa menjadikan orang sangat membutuhkan dan ketergantungan. Dan ini cerita cinta sederhana, yang tak banyak menuntut, yang hanya memberi tak harap diberi, dan berani menunggu tanpa letih.....^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun