Mohon tunggu...
Windy Estiningrum
Windy Estiningrum Mohon Tunggu... Editor - editor bahasa

perempuan kota pisang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daster Ibu

31 Oktober 2012   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:10 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daster ibu robek. Darah mengalir dari selangkangan ibu. Ibu menangis. Matanya sembab. Tangannya tak hangat lagi. Dingin. Ibu tetap berjalan menggandeng tanganku walau darah dari tubuhnya masih mengalir. Ibu tetap berjalan. Senyum hangat ibu tak ada lagi. Tiba-tiba ibu jatuh. Tetapi tanganku tetap digenggamnya. Tangisnya makin keras. Umurku yang masih sepuluh tahun hanya mampu menangis memegang tangan ibu. Tangan ibu lama-lama melemas. Tangannya tak lagi menggenggam tanganku. Matanyapun menutup secara perlahan. Aku bangunkan ibu. Tapi dia tak bangun. Aku tidur dalam pelukan ibu. Tapi aku tak mendengar detak jantung yang biasanya menjadi irama menyenangkan saat aku tidur dalam pelukan ibu.

Aku lama menunggu ibu untuk bangun tetap saja ibu tidak bangun. Malam sudah datang. Langit sudah bertabur bintang. Tetap saja ibu belum bangun. Aku genggam tangan ibu sudah mulai dingin. Ibu kedinginan. Tubuhnya kaku. Aku berlari ke rumah untuk mengambil selimut. Tempat ibu tidur sudah jauh dari rumah. Aku berlari semakin kencang agar ibu tidak semakin kedinginan. Di depan rumah tak kutemukan satu orang pun. Rumah terlihat berantakan. Segerakuambil selimut dan berlari lagi ke ibu. Ibu tunggu aku. Ini selimut untuk ibu.

Aku belum bisa mengatur nafasku setelah berlari. Di tempat ibu tidur sudah banyak orang. Ibu. Ibu kemana. Kenapa ibu tak ada dalam kerumunan itu. Ibu pergi kemana. Ini aku sudah bawa selimut untuk ibu. Air mataku mulai tak mampu kutahan. Darah segar ibu masih tertinggal di sana. Mataku mencoba mencari ibu. Tapi ibu tidak ada. Tiba-tiba tangan kecilku ditarik oleh seseorang.

“Kau mau kemana?”

“Abang? Ibuku hilang Bang.”

“Ibumu sudah mati. Dia dibawa ke rumah sakit sekarang.”

“Mati? Ibu tidak mati Bang. Dia hanya tidur.”

“Ibumu mati. Dia sudah mati anak bodoh!

“Bawa aku ke tempat ibu Bang. Bawa aku ke sana Bang!

“Kita tak perlu kesana.”

“Kenapa kita tidak ke sana Bang?”

“Biarkan mayat ibumu diurus sama polisi-polisi itu. Biarkan mereka memakamkan ibumu.”

“Biarkan aku saja yang memakamkan ibu Bang.”

“Kau tak punya uang untuk membayar pemakaman itu. Sudalah cepat pergi dari sini, sebelum semua orang curiga! Abang menghardikku.

Akupun ikut Abang pergi dari tempat itu. Ibu telah meninggal. Kenapa ibu meninggal? Apa ibu tidak sayang aku lagi? Siapa yang akan menjagaku? Aku takut sendirian. Aku ingin ikut ibu. Bawa aku. Aku ingin bersama ibu. Tidur dipelukan ibu. Bergandengan tangan dengan ibu. Berbagi selimut dengan ibu. Berbagi makanan dengan ibu. Aku merindungan ibu. Rindu. Sangat rindu.

***

Malam ini bintang tak sebanyak kemarin. Bulanpun tak menampakan diri. Langit gelap yang sepi. Aku berbaring di balai bambu milik abang. Sejak ibu meninggal aku tinggal bersama Abang. Meletakkan diri dalam bilik saat selesai bekerja seharian. Aku rindu pelukan ibu. Aku rindu detak jantungnya. Aku merindukan ibu.

Sepuluh tahun sudah ibu meninggalkanku. Kini aku telah dewasa. Aku bekerja sebagai kuli angkut di pasar dekat rumah Abang. Badanku kekar. Seandainya ibu masih hidup, akan kujaga ibu dengan badanku yang besar ini. Tinggiku sudah 175cm. Jauh lebih tinggi dari ibu. Aku bahkan lebih tinggi dari abang.

Matahari mulai membangunkan ayam yang tidur. Embun berjatuhan membasahi dedaunan. Kabut masih setia menyelimuti bumi walau matahari mulai bergeser naik. Aku berangkat ke pasar. Pagi ini akan banyak sayur yang datang. Ini saatnya panen raya. Sayur akan melimpah di pasar. Aku akan mendapat banyak pekerjaan pagi ini. Banyak pekerjaan. Banyak uang.

Haji Rahmat menyuruku membawakan barang-barang dagangannya. Dia adalah majikanku yang setia. Selama ada aku dia tak akan memakai kuli panggul lain. Dia juga membayarku lebih dari yang lain. Dari dia juga aku tahu jika jasad ibu telah dijadikan bahan praktik mahasiswa kedokteran salah satu universitas ternama di kota ini. Aku merasa bersalah telah meninggalkan ibu. Aku menyesal tidak mampu mengurus jasadnya secara layak. Aku berharap ibu mendapat tempat yang layak di sana.

Hari ini Haji Rahmat tidak buka warung, anaknya wisuda. Aku putuskan untuk libur hari ini. Aku pergi ke rumah. Aku kembali lagi setelah mengambil selimut ibu waktu itu. Aku lihat rumah kecil itu semakin gelap. Warnanya sama seperti sepuluh tahun lalu, namun kini warna itu memudar. Aku duduk di teras depan rumah. Rumah terkunci.

Sepuluh menit aku duduk di teras rumah. Masih belum banyak yang berubah, kecuali dinding yang telah ditumbuhi lumut hitam yang dekil. Tiba-tiba ada orang datang dengan sebotol minuman di tangannya. Dia menatapku dan mengusirku pergi. Aku tahu pasti itu bapak. Bapak tidak mengenaliku lagi. Dia melupakanku. Pasti.

Aku ingin mengatakan pada bapak kalau aku ini Satria, anaknya yang terbuang. Tapi niat itu aku urungkan. Bapak sedang mabuk tak akan mendengar kata-kataku. Angin mulai bergerak meniupkan hawa dingin, hari sudah sore. Aku pulang ke rumah abang. Aku akan kembali nanti dengan banyak rencana lagi.

***

Darah kembali membasahi lantai rumah kecil ini. Mengalir dari tubuh tegapnya yang kekar. Matanya merah mengatakan kemarahan. Kakinya menendang apa yang menghalanginya. Tapi darah masih mengalir dari dadanya. Wanita separuh baya, mendekat menolongnya tapi pertempuran semakin menjadi. Wajah sang wanita ditebas parang. Darah mengalir dari pipinya.

Aku masih bergulat dalam amarah yang mendalam. Parang masih kugenggam erat di tangan. Menyenangkan menyiksa tubuh manusia pendosa. Menebas dendam dalam dada. Menuntaskan utang penyesalan yang tersimpan. Dan hari ini aku yang akan jadi pemenang.

Tangan ini seolah memiliki mata yang mampu menentukan dimana tempat yang tepat menancapkan parang ini. Sekali tancap. Mati dalam linangan darah yang tak suci. Aku membisu dalam dingin malam. Mataku merah menerawang darah. Pembalasan dendam yang terlampiaskan. Wanita itu masih menangis memeluk jasad sang lelaki. Tapi aku masih berambisi untuk menuntaskan hutang batinku.

Persis seperti yang aku lihat sepuluh tahun lalu, aku melakukan hal itu pada tubuh yang tak suci ini. Menendang perutnya yang mulai buncit. Menjambak rambutnya yang tak lagi hitam dan memasukkan kaki meja pada kemaluannya yang tak lagi kencang. Wanita ini menangis. Kusaksikan darah mengalir dari selangkangan. Terlunaskan hutan batin ini. Dan aku puas.

***

Aku bermain diteras rumah. Melihat ibu yang asyik menyulam di ruang tamu itu. Aku terus melihat matanya yang menunduk ke bawah. Aku tak ingin meninggalkan senyumannya sekalipun. Aku ingin memandangnya selama mungkin. Sebelum semua terjadi. Sebelum laki-laki itu datang dengan wanita pendosa itu.

Tanganku masih erat memegang mainan itu. Mataku tetap memandang lurus ke laki-laki dan wanita muda itu. Laki-laki itu tertawa memandangi tubuh kecilku yang lusuh. Tapi tubuh kecil ini memperlihatkan kemarahan. Entah kekuatan apa yang menggerakkan tangan ini, mainan itu telah jatuh tepat di muka laki-laki itu. Laki-laki itu murka. Badannya yang tegap merangkul tubuh kecilku. Tangannya yang kuat menyeretku ke dalam rumah. Aku tak kuasa menolaknya. Di depan ibu yang sedang kebingungan telapak tangan yang kasar itu menampar pipiku. Darah mengalir dari sudut bibirku. Ibu menangis menghalangi laki-laki itu, tapi laki-laki itu lebih sadis lagi. Bukan hanya aku yang menjadi sasaran amuknya ibu dipukulnya. Keras. Hingga tubuh ibu terlempar tepat di depan kaki wanita muda itu.

Aku masih mendapat pukulan dan cacian dari laki-laki itu. Tapi ibu. Dia jauh mendapat siksaan dari wanita muda itu. Perut ibu ditendang. Ibu menggeliat kesakitan. Aku ingin menolong ibu. Tapi tangan laki-laki itu terlalu kuat untuk kusingkirkan. Rambut ibu yang indah ditarik hingga kepala ibu ikut ke atas. Ibu tetap diam mendapat siksaan itu. Daster ibu dirobek. Kaki meja ruang tamu dimasukkan ke dalam daster itu. Ibu menjerit kesakitan. Darah mengalir dari selangkangan ibu. Ibu menangis. Aku meloncat ke ibu. Tangan laki-laki itu tidak lagi sekuat tadi.

Aku menatap mata wanita itu dalam-dalam. Tapi wanita itu seakan ingin melampiaskan kemarahannya padaku. Ibu menarik tanganku. Aku dibawa kekamar. Dirapikan bajunya dan bajuku di dalam tas. Aku bergeser ke arah pintu. Kulihat laki-laki kekar yang kupanggil bapak itu pergi meninggalkan wanita teman kencannya di ruang tamu. Wanita itu masih membereskan pakaiannya. Aku berlari kewanita itu.

“Kenapa kau sakiti ibuku?” Gertakku tanpa ragu.

“Ibumu memang pantas untuk disiksa.” Jawab wanita itu dengan sinis.

“Bukankah kau yang harusnya disiksa? Ibuku telah rela bapak tidur denganmu walau dia sangat merindukan bapak.”

“Katakan pada ibumu. Bukan aku yang mengambil bapakmu. Tapi dia yang tak mampu menjaga bapakmu.

“Tapi ibu selalu menunggu bapak pulang, walau setiap pulang membawa kau kerumah.”

“Laki-laki mana yang mau pada wanita yang sehari-harinya hanya memakai daster.”

“Daster?” Aku mengerutkan keningku.

“Lihat saja ibumu selalu memakai daster kemana-mana.”

Aku terdiam. Apa benar ibu salah hingga bapak tak betah di rumah dan memilih dengan wanita kotor itu. Ibu keluar kamar dengan daster yang robek dan darah yang mengalir dari selangkangannya. Mata ibu merah. Dia menarikku. Aku mengikuti kemanapun kaki ibu melangkah dalam perjalanan yang tak kumengerti.

“Bu, kita mau kemana?” Aku bertanya sambil mendongak ke arah ibu.

“Kemana saja, asal tak bertemu laki-laki dan wanita itu.” Ibu menjawab sambil meringis kesakitan.

“Kenapa? Kenapa kita yang pergi?” Aku menggoyang-goyangkan lengan ibu.

Ibu tak menjawab pertanyaanku. Kakinya yang berlumur darah tetap melangkah dan matanya memandang lurus ke depan. Air matanya mengalir membasahi pipinya yang merah. Kakiku pun terus melangkah mengikutinya. Tanganku tak kulepaskan dari tangannya.

Tiba-tiba ibu jatuh. Tangannya tetap menggenggam tanganku. Dia menangis. Tangisnya lebih keras dari yang tadi. Aku hanya diam. Tubuhnya mendekat. Dia merebahkan diri di jalan itu. Aku meletakkan kepalaku dalam pelukannya.

“Satria. Ibu tidak kuat lagi.” Ibu merintih.

“Kita istirahat saja di sini, Bu. Aku menggigit bibirku. Mataku pun berkaca-kaca melihat penderitaannya.

“Satria harus jadi anak yang baik. Kelak jika Satria menikah jangan seperti Bapak. Satria harus sayang pada keluarga.” Terbata-bata ibu menasehatiku.

“Jika nanti Satria menikah, Satria akan mencari wanita seperti ibu. Yang selalu menunggu bapak pulang. Tapi Satria tidak akan pulang dengan wanita lain. Satria tidak akan seperti Bapak.”

“Nanti setelah Satria menikah, jangan sekali-kali membelikan istri Satria daster.”

“Daster? Kenapa bu? Aku suka melihat ibu memakai daster.”

“Daster membuat wanita menjadi tak berharga.”

Tapi kenapa ibu memakai daster?”

“Karena hanya daster yang ibu punya. Karena hanya daster barang yang pernah dibelikan bapak untuk ibu.”

Waktu seakan berhenti. Aku tetap tidur dalam pelukan ibu yang mulai terasa dingin. Tangannya perlahan melepaskan tanganku dan tubuhnya mulai kaku. Ibu kedinginan. Aku berlari pulang untuk mengambil selimut. Selimut untuk ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun