Mohon tunggu...
Windy Estiningrum
Windy Estiningrum Mohon Tunggu... Editor - editor bahasa

perempuan kota pisang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Kereta Senja

20 Maret 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:29 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepeda dortrap sudah terparkir di depan rumah. Aku tersenyum melihat itu. Dengan langkah riang aku melangkahkan kaki menuju teras, dan kau ada di sana untukku. Senyummu menyambut kedatanganku. Kau menjemputku, dengan senyum termanismu dan seragam sekolah yang selalu tampak rapi. Walau usia pacaran kita sudah dua tahun tapi hati ini selalu bahagia saat melihatmu datang.

Baju putih abu-abu ini akan segera kita tanggalkan. Mungkinkah kita akan berpisah setelah lulus SMA? Aku harap kita tak akan terpisah. Hari kelulusan itupun tiba. Kita lulus. Setelah pengumuman itu, kau tiba-tiba berlari ke arahku, memelukku dan mendaratkan kecupan di keningku. Apa kau bahagia? Kenapa aku justru takut? Aku takut kita tidak dapat lagi bersama. Aku takut tak dapat lagi mendapat pelukan ini darimu.

Keputusan itu sudah kita buat. Kau sekolah di sekolah militer sesuai dengan cita-citamu dan aku sekolah di sekolah guru sesuai dengan cita-citaku. Jujur ketakutanku semakin menggelantung di hatiku. Tapi setiap kali aku ungkapkan rasa ketakutanku, setiap itu pula kau mampu menangkap hatiku dan menenangkannya.

Hari ini hari pertamamu masuk sekolah militer, kau terlihat gugup. Aku mencoba menenangkanmu dengan memelukmu. Kau tersenyum. Kita berangkat bersama ke sekolahmu. aku lihat banyak teman-teman SMA kita yang juga sekolah di sana dan aku tahu tak ada murid wanita di sekolahmu. Jadi, aku tak cemas kau akan melupakanku.

Sudah satu tahun kau berada di sana. Banyak yang berubah. Selain kita tak lagi satu sekolah, kau juga tak lagi menjemputku setiap hari. Kau tinggal di asrama sekolah, jadi hanya hari Sabtu dan Minggu saja kau datang ke rumah. Kita berbincang tentang kegiatan kita selama satu minggu ini. Kau ceritakan tentang kakak seniormu yang sering menindas anak baru. Dan aku menceritakan tentang semua kegiatanku sebagai seorang guru. Seperti itulah cinta kita tumbuh. Dengan mendengar dan mengerti.

Hari ini kau tak banyak bicara, kau hanya mengayuh sepeda dortrapmu. Kenapa kau diam? Apakah ada yang salah denganku hari ini? Ini hari Sabtu, di mana kau selalu datang menjemputku dari sekolah dan mengantarkanku ke rumah. Kau seperti punya banyak tenaga, hingga sepeda ini terasa begitu kencang. Tak berapa lama kita sampai di rumah. Kau tetap diam. Aku akan masuk rumah, tiba-tiba tanganmu mencegahku.

“Aku akan ditugaskan ke daerah konflik minggu depan,” ujarmu lirih. Tiba-tiba kata-kata itu menyakitkan untukku.

“Di mana?” tanyaku, sambil berharap kau tidak ditugaskan terlalu jauh dari sini.

“Di Jawa bagian timur, di sana sedang ada konflik dan butuh pasukan banyak. Aku harus ke sana. Ini tugas pertamaku,” katamu, menjelaskan.

“Berapa lama?” tanyaku lagi.

“Tiga tahun,” suaramu sedikit bergetar menahan tangis.

“Tiga tahun?” tanyaku memastikan.

“Iya,” jawabmu. Mendengar jawabanmu itu tak mampu lagi aku membendung air mataku dan aku lihat kau juga menangis. Kita berpelukan dalam tangis.

“Bagaimana dengan cinta kita?” pertanyaan itu tiba-tiba meluncur di sela-sela tangisku.

“Pertahankan cinta kita, aku akan kembali untuk melamar dan meminangmu. Maka biarkan cinta itu untukku. Aku mohon,” pintamu padaku

“Apa kau janji akan datang untukku?”

“Aku janji, asal kau menjaga cinta kita,” janjimu. Dan aku hanya sanggup mengangguk.

span>***

Lambaian tanganmu membuatku meneteskan air mata. Kereta senja itu membawamu menjauh dariku. Air mata ini semakin tak terbendung, ketika lambaian tanganmu tak terlihat lagi. Aku masih terpaku di sana. Menatap keretamu yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. Ini untuk pertama kalinya kita terpisah jarak yang cukup jauh. Untukku. Untuk hubungan kita.

“Tunggu aku di sini ya? Aku akan kembali tiga tahun lagi,” ucapmu sebelum kau berangkat. Aku hanya mengangguk lemah.

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk kita menghadapi ini. Tiga tahun yang akan datang, begitu lama untuk aku lewati tanpamu. Bisakah aku bertahan tanpamu? Akan bertahankah cintaku untukmu? Terlalu sulit pertanyaan itu aku jawab saat ini. Terlalu berat peristiwa ini untukku.

Lebih dari tiga tahun kita merajut tali asmara. Tanpa jarak yang terlalu jauh. Cinta yang dimulai dari bangku SMA dengan seragam putih abu-abu itu, telah mengajarkan kita banyak hal. Tentang rasa memiliki. Tentang kebahagiaan. Tentang pertengkaran. Dan kini cinta kita mengajarkan pada kita tentang kerinduan. Kerinduan yang terpupuk dari kejauhan. Aku merindukanmu, walau hanya satu jam yang lalu kau meninggalkanku. Tapi aku sangat merindukanmu.

span>***

Ini tahun kedua aku hidup tanpamu di dekatku. Ini tahun kedua aku merindukanmu. Aku bertahan dengan cinta kita. Aku juga menerima surat-suratmu tiap bulan. Rindu ini merayap melalui kata dan tersampaikan lewat tulisan yang kau kirim untukku.

Terima kasih kau telah menjaga cinta kita. Rindu ini bergelayutan di hatiku. Sangat kuat dan erat. Aku tak mampu menepis bayanganmu, walau peluru hampir mengenai mataku. Perang belum usai di sini. Bentrok antarsuku juga masih sering terjadi. Jika semua ini telah usai aku akan pulang untukmu, tanpa harus menunggu tiga tahun lagi. Tetaplah menungguku di stasiun itu, aku akan pulang dengan kereta senja. Pakailah gaun terbaikmu dan tunggulah aku dengan senyum termanismu.

Serangkai kalimat yang ada dalam salah satu suratmu setahun lalu. Kau merindukanku. Aku juga merindukanmu. Rinduku juga tak mampu luntur bahkan melekat kuat di sini. Di hatiku. Aku selalu mengharap kedatanganmu. Aku selalu berpikir kau yang tiba-tiba datang dan duduk di teras rumahku. Aku berharap sepeda dortrapmu terpakir di depan pagar rumahku. Kau dengan senyum manisku menungguku di teras. Terus tersenyum manis, saat menungguku keluar. Tapi, semua itu ternyata hanya hayalanku. Kau tetap tidak ada di sini.

Senja ini begitu dingin. Ini bulan November ketiga kepergianmu. Dua tahun yang lalu kau meninggalkanku di stasiun ini sendirian. Kau meninggalkanku dengan kereta senja. Lambaian tanganmu waktu itu masih aku ingat jelas. Hari ini aku kembali ke sini. Berharap kau datang, tanpa pemberitahuan padaku lebih dahulu. Aku kembali menunggumu dengan gaun terbaikku. Menunggumu di stasiun ini merupakan kegiatanku setiap hari di waktu senja, di saat aku selesai mengajar. Terus menunggu, tanpa bosan dan terus menunggu, tanpa kepastian. Kapan kau pulang? Harus berapa lama lagi aku menunggumu? Bukankah kau akan segera pulang sebelum tiga tahun? Aku tahu daerah tempatmu ditugaskan sudah kondusif. Namun aku juga tahu sebagai serdadu negara, kau bisa dipindah kapan saja dan di mana saja.

Rindu ini semakin tak menentu, saat surat-suratmu tak lagi aku terima. Rasa cemas menyeruap melebihi rasa rinduku padamu. Beberapa kali aku kirim surat padamu, tapi selalu sama. Tak ada balasan. Aku mencoba mencari keberadaan dan kabarmu melalui teman-temanmu yang sudah pulang. Tapi semua diam. Kau kemana? Ada apa ini? Kenapa semua membisu? Termasuk dirimu.

Aku tetap menunggumu di stasiun itu. Kereta senja telah tiba dan kau belum juga datang untukku. Rasa rindu dan cemas menjadi satu. Menggerogoti hatiku yang semakin rapuh. Aku ingin menaiki kereta senja ini dan menemuimu di bumi rantau. Tapi niat itu sulit untukku, sebab aku memiliki murid yang membutuhkanku di sini. Kereta senja bawakan dia untukku. Segera.

span>***

Tahun ketiga kepergianmu dan satu tahun tanpa suratmu. Rindu. Cemas. Seperti makanan yang harus aku nikmati sehari-hari. Aku harap kau baik-baik saja dengan cinta kita. Stasiun itu seperti penantianku. Gaun terbaik. Senyum termanis. Mungkin sudah terkubur oleh rasa cemas yang terlalu tinggi untukmu. Rasa rindu yang tertindih rasa cemas itu telah membuatku tak mampu lagi bertahan di sini. Haruskah aku melepaskan cinta kita yang tanpa kepastian?

Aku mencoba merajut cinta dengan lelaki lain. Namun tetap saja setiap senja aku menantimu di stasiun ini. Ternyata aku tidak bisa menghianati cinta kita. Ternyata aku tak bisa berhenti merindukan dan memikirkanmu. Aku telah mencoba dan selalu gagal.

Surat ini adalah surat kesekian yang aku kirimkan untukmu tanpa pernah ada balasan. Cinta. Begitu sakit untuk aku jalani. Begitu berat untuk aku lewati. Kereta senja telah ratusan kali singgah di stasiun ini, tapi senyummu tak juga aku lihat. Rindu dan rasa cemas menggunung dalam hatiku. Dan akan meletus saat engkau datang. Kirimi aku rindu yang sama denganku.

Bulan depan akan ada seseorang yang melamarku. Datanglah untuk membatalkan rencana ini. Aku menunggumu sampai bulan depan.

Kata ancaman yang aku kirim padamu lewat suratku. Berharap kau membacanya dan datang sebelum bulan depan. Karena aku benar-benar ingin kau datang saat ini. Bukan hanya sekedar untuk membatalkan pertunanganku, terlebih untuk mengobati rinduku. Setidaknya surat itu mampu membuat hatimu bergetar. Pulanglah, aku menunggumu.

Satu bulan sudah surat itu aku tulis, hari ini lelaki itu benar-benar melamarku. Dan kau, bahkan tak membalas suratku. Tapi otakku tak bisa berhenti memikirkanmu dan hatiku tak berhenti merindukanmu. Sehingga tanpa banyak berpikir aku menolak lamaran itu, walau kau tak ada di sini. Sekedar untuk menggagalkan pertunanganku.

Pertunanganku gagal. Semoga kabar ini bisa membawa kebahagian padamu. Kenapa kau tak datang? Apa kau tahu bahwa aku hanya menggeretakmu? Pulanglah. Rindu ini sudah tak mampu lagi aku tahan. Pulanglah otak ini sudah tak bisa lagi memikirkan yang lain. Tuliskan rindumu untukku. Aku ingin kau membalas surat ini.

Aku tulis kembali surat untukmu sehari setelah kegagalan pertunanganku. Semoga kau lega setelah membacanya. Semoga kau bisa pulang cepat. Aku menunggu lamaranmu untukku. Hanya untukku. Dan hanya darimu.

span>***

Aku mendengar kabar kepulanganmu. Dan itu bahkan bukan darimu. Aku mendengarnya dari temanmu. Aku tak peduli tentang siapa yang memberi tahuku, yang terpenting untukku adalah kepulanganmu. Kau akan pulang akan pulang untukku. Untuk memadukan rindu kita. Kau pasti merindukanku juga. Rinduku akan tertuntaskan padamu. Kereta senja datanglah lebih cepat kali ini. Bawakan dia untukku.

Kereta senja yang kutunggu datang. Aku dengan pakaian terbaikku dan senyum termanisku bersiap menjemputmu. Kau melangkahkan kaki keluar dari kereta itu. Kau banyak berubah. Badanmu bertambah kekar dan kulitmu semakin hitam. Mungkin kau terlalu banyak berlatih sehingga kau melupakanku.

Kau melangkah ke arahku. Aku tersenyum. Rindu ini akan meletus sekarang. Air mataku tak sanggup aku bendung lagi. Mengalir deras membasahi pipi. Pergegas langkahmu. Aku ingin segera memelukmu. Aku bahkan tak bisa menunggumu beberapa langkah lagi. Aku menghambur ke pelukanmu. Dan air mata ini seperti larva dari gunung rinduku yang meletus.

Aku menangis di dadamu, tapi kau tak membalas pelukanku. Tapi aku tak peduli, rindu ini tak mampu lagi memikirkan itu. Aku memelukmu erat. Semakin erat dan tambah erat.

Kecemasanku seakan pudar dan sirna. Kau datang dengan rindu yang sama denganku kan? Namun, tiba-tiba perempuan hamil berdiri di dekatmu. Dia seakan heran melihatku memelukmu. Aku sedikit melepaskan pelukanku dan  menatap perempuan hamil itu.

“Ini siapa Mas?” tanya perempuan hamil itu padamu. Kau diam. Aku lepaskan pelukanku. Aku menatap matamu.

“Dia temanku,” jawabmu singkat tanpa melihat mataku.

“Teman?” kucoba untuk mengoreksi jawabanmu.

“Ya, dia temanku,” jawabmu lagi, seolah meyakinkan perempuan itu. Bukan menjawab pertanyaanku

“Lalu, dia siapa?” tanyaku bergetar.

“Dia Rubi, istriku. Dan ini Bintang temanku,” kau memperkenalkan wanita itu sebagai istrimu padaku, dan aku hanya sebagai teman ke wanita itu. Air mataku kembali mengalir deras setelah berhenti sesaat.

“Bintang yang selalu mengirimu surat itu?” tanya wanita itu padamu. Mendengar pertanyataan itu, hatiku semakin sakit.

“Apa kau menerima suratku? Kenapa kau tak membalasnya? Apa surat-surat itu kau anggap lelucon? Atau ketika kau membacanya seakan itu sebuah komedi yang bisa kau tetawakan dengan istrimu?”  tanyaku meminta penjelasanmu.

“Maafkan aku,” jawabmu merasa bersalah.

“Sejak kapan kau menikah dengannya?”

“Sejak satu tahun yang lalu. Sejak aku tak mampu membalas surat-suratmu,” jawabmu, tanpa sekalipun kau menoleh padaku.

“Mana janjimu dulu?” tanyaku.

“Maaf aku tidak dapat menepatinya,”

“Kenapa kau tak memberi tahuku, jika kau sudah menikah? Setidaknya kau tidak membiarkan aku menunggu tanpa kepastian. Atau kau tidak biarkan aku dihantui oleh rasa rindu dan cemas. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan menangis di depan wanita yang merebut cintaku,”

“maafkan aku,”  jawabmu sambil pergi meninggalkanku yang masih berdiri di stasiun itu.

Pandanganku tiba-tiba menghilang. Kakiku seakan tak mampu menopang tubuhku. Aku terjatuh ke lantai. Kutekuk kedua kakiku. Kusembunyikan wajahku dalam lututku. Bukan hanya gunung rindu yang meletus. Namun gunung kecemasan itu juga ikut meletus. Erupsinya bahkan lebih dahsyat dari rinduku.

Kereta senja inikah yang kau bawa untukku? Setelah aku menunggumu selama lebih dari tiga tahun. Kereta senja inikah jawaban yang kau bawa untukku? Setelah kutitipkan rinduku padamu. Kereta senja inikah namanya cinta? Setelah aku berkorban untuknya. Kereta senja sekarang mampukah kau bawa kesedihanku ini pergi dariku, agar aku bisa bernapas tanpa rindu yang tak terbalas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun