Mohon tunggu...
Windy Kurnia
Windy Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Urgensi Hukum terhadap Penerima Fidusia dalam Perjanjian Kredit

20 Januari 2023   18:00 Diperbarui: 20 Januari 2023   18:35 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggungjawab debitur terhadap benda pertanggungan yang musnah menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Perjanjian kredit dengan meminta pertanggungan dari debitur dimaksudkan guna mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan tetapi tak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak kreditur dengan debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan penggunaan benda pertanggungan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena pihak debitur bisa saja melakukan fidusia ulang dengan mengalihkan hak kepemilikan benda pertanggungan bergerak kepada pihak lain tanpa sepengetahuan kreditur sebagai penerima fidusia, juga bisa karena musnahnya obyek fidusia. 

Berdasarkan isidari Pasal 1234 KUH Perdata, tiga kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur dalam perikatan ialah: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tak berbuat sesuatu. Sebagai halnya terkandung didalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Pertanggungan Fidusia, ialah obyek pertanggungan fidusia yang telah terdaftar seorang pemberi fidusia dilarang melaksanakan fidusia ulang lagi. Kondisi seperti ini menjadi alasan lantaran hak kepemilikan atas obyek itu sudah berpindah kepada penerima fidusia (Constitutum Poosessorium).

Berbicara tentang musnahnya barang yang menjadi pertanggungan fidusia dalam perjanjian kredit dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : (a) Musnah Secara Total/seluruhnya, jika barang yang menjadi obyek perjanjian kredit musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian kredit tak lagi bisa digunakan sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada. 

Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama kreditnya berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tak bisa dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian kredit itu dengan sendirinya batal. 

Dan (b) Musnah Sebagian, barang yang menjadi obyek perjanjian kredit disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati kegunaannya walaupun bagian dan barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian kredit musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan yaitu meneruskan perjanjian dengan meminta pengurangan harga atau meminta pembatalan perjanjian.

Terkait dengan musnahnya barang pertanggungan sebagaimana yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, telah memberikan gambaran bahwasannya yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang khususnya yang menjadi pertanggungan ada dua yaitu musnah secara total dan musnah sebagian. 

Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensi-konsekuensinya secara sendiri. Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwasannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pertanggungan Fidusia dalam pengaturan norma-normanya masih belum dapat menjawab permasalahan dalam hal pertanggungan fidusia, khususnya mengartikan musnahnya barang pertanggungan. Sehingga diartikan dengan berpedoman pada kamus bahwasannya yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini ialah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai pertanggungan dalam perjanjian kredit.

Di dalam pemenuhan suatu perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tak jarang pula debitur lalai melaksanakan kewajibannya atau bisa dikatakan tak melaksanakan kewajibannya ataupun tak melaksanakan seluruh kewajibannya, hal ini disebut wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "wanprestatie" yang artinya tak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu didalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Wanprestasi terjadi disebabkan karena 2 alasan di bawah ini:

1.Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure), diluar kemampuan debitur, debitur tak bersalah. Keadaan memaksa ialah keadaan tak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukankarena kesalahannya, peristiwa mana tak dapat diketahui ataupun tak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun