Entah apa yang sedang terjadi pada bangsa yang kita cintai ini, rasanya banyak sekali permasalahan yang muncul kepermukaan, belum selesai yang satu muncul lagi yang lain. Mulai dari bencana, korupsi, PSSI, dan akhir-akhir ini kabar dari para TKI kita menambah rentetan permasalahan yang harus segera diselesaikan dengan cepat dan tepat sebelum permasalahan yang lain muncul lagi.
Pahlawan Devisa Negara, itulah sebutan bagi para tenaga kerja Indoneisa (TKI). Devisa atau alat pembayaran Internasional sebagian besar diperoleh dari ribuan konon mencapai jutaan para TKI kita yang mengirimkan sebagian gajinya ke tanah air, dari situlah devisa di dapatkan, lalu mereka dijuluki sebagai Pahlawan Devisa Negara. Kepala Biro Humas dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bachtiar Arif menyebutkan Jumlah devisa yang di berikan rata-rata setiap tahunnya mencapai Rp 39,3 triliun.
Dipakai apa uang itu?
Silahkan analisa sendiri.
Saya tidak akan menguapas lebih jauh berapa jumlah devisa yang di dapatkan oleh negara, namun gelar Pahlawan Devisa ini tidak sebanding dengan Hak yang seharusnya mereka dapatkan. Belum selesai kasus Darsem yang harus membayar ganti rugi sebesar Rp. 4,5 Milyar karena dituduh membunuh majikannya, kini kasus Ruyati mencuat kepermukaan yang telah dihukum pancung oleh para penegak Hukum di Arab Saudi, tanpa sepengetahuan kedutaan kita di sana.
Seharusnya para TKI ini mendapat perlindungan Hukum dari negara, karena perlindungan Hukum adalah Hak bagi setiap warga negara.
Kemiskinan adalah faktor utama yang melatarbelakangi mereka untuk mengadu nasib di negeri orang. Setiap tahun angka angkatan kerja semakin meningkat, hal ini tidak didukung dengan jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Akibatnya tindak kriminal meningkat, aksi bunuh diri karena himpitan ekonomi, dan sebagian mencoba mengadu nasib ke luar negeri baik itu melalui jalur legal maupun ilegal. Menjadi seorang TKI cukup diminati oleh para pencari kerja karena iming-iming gajinya yang lumayan besar.
Lalu mengapa banyak terjadi kasus penyiksaan terhadap para TKI?
Banyak sekali TKI kita yang bekerja di luar negeri mendapatkan perlakuan yang kurang baik, bahkan tidak manusiawi , Darsem dan Ruyati hanya sebagian kecil diantaranya. Hal ini terjadi mungkin salah satunya karena kualitas tenaga kerja kita (SDM) yang kurang mumpuni, sehingga para majikannya di sana kurang puas dengan hasil pekerjaan para TKI ini, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang bahkan tidak menyenangkan.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Sebagai warga negara yang baik tidaklah baik mencari kambing hitam di balik keluh kesah dan derita para TKI kita. Memang pemerintah melalui Duta besarnya di negara tujuan TKI yang harus lebih bertanggungjawab, untuk apa ada kedutaan besar bila tidak dapat memantau para TKI yang bekerja di negara tempat mereka tinggal. Tidak hanya pemerintah, dari pihak penyalurpun harus lebih selektif lagi untuk memilih dan memberangkat tenaga kerja ke luar negeri, lihat dari SDM nya apakah sudah pantas atau mampukah calon TKI itu untuk bekerja di negara tujuan. Semua komponen harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, bahkan kitapun bisa ikut terlibat di dalamnya.
Bagaimana solusinya?
Bukanlah hal yang baru tentang kasus para TKI kita, seharusnya kita khususnya pemerintah yang punya power harus mulai segera berbenah. Mungkin banyak sekali opsi yang dapat di lakukan pemerintah, seandainya pemerintah lebih serius maka kejadian ini dapat ditekan bahkan dihapuskan.
Penciptaan lapangan kerja, ini adalah solusi yang sangat tepat sekali untuk menekan peningkatan pemberangkatan tenaga kerja kita. Dengan penciptaan lapangan pekerjaan setidaknya akan mengurangi angka penganguran, mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan pula bagi negara. Hal ini tentunya pemerintah yang harus berperan aktif untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Penyeleksian calon TKI, bagi para penyalur tenaga kerja haruslah memberikan pembekalan kepada para calon TKI, bukan hanya pembekalan tapi penyeleksianpun harus dilakukan. Seleksi calon TKI ini sangatlah penting, melalui penyeleksian calon TKI dapat diketahui bagaimana kualitas SDM si calon itu sendiri, misalkan si calon yang tidak memenuhi standar kualitas/SDM yang telah di tentukan janganlah diberangkatkan. Hal ini untuk menekan angka penyiksaan terhadap para TKI, mungkin penyiksaan ini dikarenakan tidak puasnya terhadap kinerja TKI kita. Bukan hanya dengan menyuruh TKI menyiapkan uang sekian juta, tanpa mempunyai bekal pengetahuan yang cukup lalu mereka diberangkatkan begitu saja.
Pemantauan dan pendataan di tempat loaksi, dengan pemantauan di tempat tujuan TKI akan memberikan banyak informasi tentang keadaan para TKI kita di sana. Pemantauan ini akan menjadi sangat penting bagi mereka kalau saja ada para TKI ini yang mendapatkan perlakuan kurang baik. Pendataan dapat dilakukan misalnya tiap satu tahun sekali, melalui pendataan ini akan diketahui TKI yang hilang, dan dengan segera pemerintah melalui kedutaan besar di sana melakukan pencarian dan penyelidikan. Hal ini bercermin pada kasus salah seorang TKI yang sudah 15 tahun tidak ada kabarnya.
Mungkin salah satu, bahkan opsi yang saya utarakan sudah terealisasikan, tinggal kesungguhan kita khususnya pemerintah yang memiliki power integrity untuk lebih serius lagi menghadapi permasalahan warga negaranya.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11
Begitupun dengan bangsa kita, takan ada yang bisa merubahnya selain kita sendiri sebagai warganya. Semoga bangsa kita semakin lebih baik, bangkit dari keterpurukannya, dan nasib para Pahlawan Devisa kita mendapatkan Hak sebagaimana mestinya.
Windu Mandela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H