Mohon tunggu...
Philippus Angga Purenda
Philippus Angga Purenda Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perkenalkan saya Ph. Angga Purenda, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan kosentrasi Jurnalistik di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Penjual Sate Kere: Antara Tradisi dan Uang Jajan

20 Desember 2012   03:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:20 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13559741911174287760

[caption id="attachment_222767" align="aligncenter" width="480" caption="Foto Bersama Ibu Maduratna di arena sekaten Yogyakarta"][/caption] Oleh: Ph. Angga Purenda

Ibu-Ibu separuh baya ini menjajakan sate kere di pasar malam Yogyakarta. Baginya menjual sate kere sebagai upaya pelestarian tradisi sambil mencari uang jajan. Bagaimana dengan kehidupannya?

Maduratna (54) dan suaminya, Budiharjo (64), malam itu terlihat menjajakan sebuah makanan khas yang digemari oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X di arena pasar malam Yogyakarta.  Mereka menawarkan sate kere yang berasal dari lemak daging sapi, kemudian ditusuki dan dibumbui dengan cita rasa yang khas. Tetapi tidak hanya sate kere saja yang ditawarkan, ada juga sate usus dan sate telur puyuh sebagai pendampingnya.

Awal 2000, Madu memulai menjajakan sate kere dengan berkeliling kampung serta di arena pasar malam di berbagai daerah. Seluruh wilayah di Yogyakarta pernah Ia singgahi hingga sampai ke Kota Magelang.  Baginya menjajakan sate kere sebagai bagian tradisi turun temurun dari keluarganya. “Dulu simbah saya yang awalnya menjual sate kere, lalu saya lanjutkan hingga sekarang” ujarnya dengan lembut.

Sudah 12 tahun, Madu bersama suaminya setia menjajakan sate kere tanpa takut tersaingi dengan makanan siap saji. Walaupun malam itu, letak berjualannya persis di samping makanan ala Amerika tapi tetap saja banyak pengunjung yang menghampirinya untuk sekedar  membeli dan mencicipi beberapa tusuk sate kerenya.

Baginya sate kere menjadi ciri khas dari pasar malam yang diadakan di alun-alun utara Yogyakarta tersebut. Apalagi sate kere sering kali di promosikan oleh Sri Sultan Hamengkubowono X ketika diwawancarai oleh media. “Pak Sri Sultankan sering ditanyaiin waktu diwawancarai, makanan khas Jogja apa, ya sate kere ini” tuturnya dengan penuh keyakinan.

Setiap harinya jam 4 pagi, Ia bersama suaminya sudah menuju ke pasar beringharjo untuk membeli bahan utama. Budiharjolah yang selalu setia mengantarkannya dan menemani istrinya untuk mempersiapkan sate kere sebelum dijajakan kepada pengunjung pasar malam. Semua racikan bumbu untuk sate kere, Madu siapkan hingga jam 10 pagi sebelum dibawa ke arena pasar malam di sore harinya.

Asap dari bara api yang menyala dengan perpaduan harumnya sate kere membuat pembeli penasaran dengan makanan yang satu ini. Tidak heran pula, malam itu sate kere ala cheff Madu banyak dibeli oleh pengunjung arena pasar malam. Hanya dengan membayar  Rp 5000 rupiah  sudah mendapatkan 4 tusuk sate kere ini.

Sambil Mencari Uang Jajan

Walaupun kehidupannya cukup sederhana, Madu tidak ingin menggantungkan kepada anak-anaknya yang sudah menikah dan bekerja. Karena baginya dia masih mampu untuk bekerja dan mencari uang jajan sendiri. Sering kali suaminya, Budiharjo, mencari uang tambahan dengan menjadi pedagang mainan anak-anak.

Wanita yang bertempat tinggal di Keparakan Lor, Yogyakarta bersama suami dan dua anaknya ini tidak memiliki motivasi khusus dalam sikapnya yang terus berjualan sate kere. Padahal zaman semakin modern dan kini banyak ditemui makanan siap saji yang lebih primadona di setiap sudut Kota Yogyakarta.

“Saya tidak ingin apa-apa sebenarnya, saya berjualan sate kere ini ya cuma buat cari uang jajan saja” ujarnya sambil terus membakarkan sate kere pesanan pembelinya.

Apalagi dirinya bersama suami tidak mau berdiam diri di rumah dan mengandalkan kiriman uang dari anak-anaknya. Berjualan sate kere juga untuk mengisi rutinitas setiap harinya, agar dirinya tidak bosan. Baginya selagi masih sehat dan kuat akan tetap terus berjualan sate kere.

Memang sebelum berjualan sate kere, Madu merupakan seorang pengrajin Tas dari kulit di kampungnya dan memiliki pendapatan yang lebih. Namun semenjak mengalami kebangkrutan dirinya justru memilih meneruskan tradisi dari keluarganya untuk berjualan sate kere hingga sekarang.

Selain meneruskan tradisi dalam keluarga dengan berjualan sate kere, Madu ingin memberikan pilihan kepada masyarakat mengenai makanan khas dari digelarnya pasar malam di alun-alun utara Yogyakarta. Sehingga diharapkan pengunjung pasar malam dapat mencoba lezatnya sate kere dari racikannya.

Cerita lainnya di Blue Flash

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun