Berdasarkan Undang-Undang Nomor tahun 2016 tentang penyandang disabilitas disebutkan dalam pasal 4 bahwa ragam penyandang disabilitas dibagi menjadi 4 ragam yaitu Penyandang Disabilitas Fisik, Penyandang Disabilitas Intelektual, Penyandang Disabilitas Mental dan Penyandang Disabilitas Sensorik. Â Dalam penjelasan pada ayat 4 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas Mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku. Â
Dalam definisinya kembali di bagi menjadi dua permasalahan yaitu psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian, yang kedua adalah disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif. Â
Sedangkan tren peningkatan anak penderita autis mengalami peningkatan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Â
Sebagai dasar Penghitungan jumlah penyandang autis merujuk pada insiden dan prevalansi autis, yaitu dua kasus baru setiap 1.000 penduduk per tahun dan 10 kasus per 1.000 penduduk, data ini perlu disikapi sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah atas terjaminnya kesejahteraan dan membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Â
Data yang dirilis oleh Kementerian Sosial melalui Direktorat Rehabilitasi Anak bahwa penderita autis di Indonesia pada tahun 2015 sudah mencapai 12.800 anak, sedangkan 134.000 anak menyandang spektrum autisme.Â
Di Jawa Tengah sendiri sudah berdiri beberapa lembaga penanganan anak yang mengalami autis diantaranya Pondok Pesantren Al Achsaniyyah di Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Magelang, dan Sekolah Luar Biasa Anugerah Kota Surakarta. Â Dengan adanya fenomena dan tren penderita autis yang semakin meningkat menjadi perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Â
Melalui Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, pemerintah merencanakan membangun sebuah panti pelayanan sosial yang dikhususkan bagi penderita autis. Â Sektor yang dibidik adalah anak penderita autis yang terlantar ataupun beasal dari keluarga yang tidak mampu. Â
Keterbatasan ekonomi dan kurangnya pengetahuan dari sebuah keluarga akan gejala, penyebab dan dampak autisme anak, dirasa sebagai faktor yang kurang mendukung dalam tumbuh kembang seorang penderita autis. Â
Sehingga perlu adanya campur tangan dari pemerintah dalam hal rehabilitasi sosial yang mencakup pengasramaan, permakanan dan proses-proses lainnya yang bisa memberikan dorongan kepada anak, keluarga maupun masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan baik secara ekonomi maupun sosial maupun mengurangi beban ekonomi secara berkelanjutan.Â
Di Jawa Tengah jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) saat ini sebanyak 4,9 juta. Dari jumlah tersebut yang bisa ditampung di panti milik Dinas Sosial Jawa Tengah hanya 4.102 orang. Hal ini disebabkan daya tampung panti milik Pemprov Jateng sangat terbatas. Namun Panti yang dimiliki lebih banyak dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat atau Provinsi Jawa Timur yang nota bene penduduknya lebih banyak dari Jawa Tengah.Â
Disamping itu, kelompok sasaran Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang ditangani juga lebih beragam. Untuk lebih menajamkan program kesejahteraan sosial  di Jawa Tengah perlu segera dibangun panti sosial yang menangani anak autis terlantar, sektor ini belum tertangani secara optimal oleh panti yang ada.  Dalam perencanaan, aspek utama adalah persiapan anggaran, sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia. Â