" Dalam Rangka Memperingati Hari Kartini, Seluruh Siswi diwajibkan mengenakan Pakaian Kebaya pada tanggal 21 April 1998 "
Melihat pengumuman di mading sekolah itu, kontan saya langsung didera rasa panik. Bagaimana tidak?. Jarak sekolah saya dengan rumah bisa menghabiskan 10 jam perjalanan darat. Saat itu saya masih duduk di bangku SMA di sebuah kota kecil di Sumatera Utara bernama Sibolga. Sekolah dengan fasilitas asrama dan saya tinggal di asrama yang memiliki peraturan tidak boleh keluar sekolah sembarangan tanpa ijin. Rumah orangtua saya di Lubuk Pakam, 1 jam dari kota Medan. Dan, saat itu sudah tanggal 18 April. Duh gimana ya?.
Dengan menggunakan telepon yang ada di asrama, saya menghubungi ibu di rumah, minta dikirimin kebaya secepatnya. Ngga mau tahu bagaimana caranya pokoknya di Hari Kartini saya mesti pakai kebaya, biar cantik dan ngga malu-maluin.
Tanggal 20, sebuah paket sebesar kotak sepatu sudah saya terima, berisi kebaya dan kain songket kumplit bersama jilbabnya. Â Tertera di atasnya tulisan warna biru merah TIKI JNE.
Itulah pertama kalinya saya mengenal jasa pengiriman yang belakangan saya baru tahu JNE itu singkatan dari Jalur Nugraha Ekakurir
Saya pikir sejak era digitalisasi, maka perusahaan jasa pengiriman akan perlahan-lahan mati. Jarak yang dulu terbentang luas, seolah-olah menjadi selemparan batu saja berkat teknologi. Jaman saya kecil dulu, sebelum ada SMS, email, sosial media, jasa pengiriman demikian akrab dengan hidup saya, mulai dari kirim surat ke sahabat pena (jamannya majalah Bobo), kirim kartu pos ucapan selamat lebaran sama gebetan, kirim dokumen-dokumen penting dari rumah ke sekolah , sampai kirim-kirim barang.
Ternyata saya salah. Beberapa perusahaan pengiriman memang ada yang perlahan-lahan kehilangan auranya. Namun JNE malah semakin bersinar. Kebutuhan orang jaman sekarang yang apa-apa maunya serba cepat menjadi nilai jual utama.
Bercerita tentang pengalaman dan kisah kasih saya bersama  JNE, bisa berlembar-lembar kalau ditulis di blog ini.  Tapi baiklah, saya akan menuliskannya satu persatu.
Produk Medan tak Akan terganti
Tahun 2000, saya lulus UMPTN dan diterima kuliah di Fakultas Teknis Universitas Diponegoro Semarang. Awal-awal di sana saya mengalami yang namanya geger budaya, termasuk masalah lidah. Terbiasa dengan masakan Medan yang pedas , bersantan dan berbumbu, tiba-tiba harus makan segala yang menurut saya terasa sangat manis. Ikan manis, sayur manis, jajanan manis, padahal saya sudah manis # eeeaaa, membuat saya mau tak mau harus beradaptasi. Namun ada saat-saat dimana saya begitu rindu masakan rumah, bahkan rendang di rumah makan Padang yang ada di Tembalang pun tak sama rasanya dengan rendang yang dijual di Medan.
Seperti saat SMA, kembali saya menelepon emak saya,