Mohon tunggu...
Winardi Nurdin
Winardi Nurdin Mohon Tunggu... wiraswasta -

seseorang yang ingin mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Miskin tetap miskin atau miskin tapi kaya ?

18 Juni 2011   19:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Haruskah kita miskin ?

Kenapa kita miskin ?

Sebab apa kita miskin ?

Kenapa saya yang miskin, bukan dia, bukan pula anda ?

Itu pertanyaan setiap orang, kala kita melihat seseorang mendapatkan apa yang tidak kita miliki. Saat kita melihat sahabat kita mampu membeli rumah baru, saat saudara kita bisa membeli sebuah gadget terbaru dengan harga selangit. Tak terjangkau oleh uang kita. Terus menerus kita melihat ke atas, melihat siapapun yang lebih dari kita.

Pernahkah terpikir kalau mereka juga melihat kita ?, pernahkah kita berimaginasi bahwa ternyata mereka mendambakan kehidupan seperti kita, tak khawatir ia memikirkan rumahnya, mobilnya, depositonya, habis dicuri orang, habis dijilat orang, musnah terlalap api. Tak pusing ia berjalan dimana saja, karena setiap mata memandang padanya, mengamati setiap langkahnya, mendengar omongannya untuk mencari keuntungan pribadi maupun menjatuhkan eksistensinya.

Kenapa orang itu bisa kaya ?

Kenapa orang itu bisa beli mobil ?

Padahal gajinya sama dengan kita, padahal jabatannya lebih rendah dari kita, padahal orangnya lebih boros dari kita, tak habis pertanyaan dan perbandingan kita munculkan dalam otak kita.

Oooh,… mungkin warisan orang tuanya, terang aja istrinya kan kerja,… wajarlah dia mampu, kabarnya dia korupsi, katanya dia pesugihan, kalau nggak begitu darimana dia bisa ?

Segalanyasama dengan kita, jadi nggak mungkinlah kalau dia tidak berbuat begitu,…

Segala cibiran dan pikiran kotor menghiasi otak kita, membungkus nalar kita dengan tuduhan tanpa bukti, fitnah, pemungkiran dari kebodohan kita sendiri. Pemunafikan atas ketidak mampuan potensi kita sendiri.

Tak bisakah kita seharusnya bahagia seseorang lebih baik dari kita ?,

Takmampukah kita mengakui keberhasilan mereka sebagai manifestasi kerja kerasnya ?,

Ihklaskahkita menerima kekalahan kita sendiri ?,…

Biarlah mereka lebih dari kita, apa pedulinya bagi kita ? ambil saja manfaatnya, siapa tahu kita bisa dapat untungnya, kecipratan rezekinya, bisa numpang mobilnya, bisa pinjam uangnya saat kita kepepet, atau mungkin keahlian yang kita miliki bisa diambil jasanya, enak kan ?,...

Lebih baik daripada kita menjauh karena kecemburuan sosial, menjadi musuh dalam selimut, siapa yang rugi ? jelas kita yang rugi, energi kita habis mikirin itu, hilangnya semangat kita, mood kita, dan bisa jadi rezeki kita. Karena siapa yang tahu rezeki kita sesungguhnya dititipkan Tuhan kepadanya.

Jadi,… apa pertanyaan yang baik dari diskripsi diatas ?

Bagaimana kita bersyukur atas apa yang dimiliki ?

Ituklise,…

Kenapa kita tidak bisa bersyukur ?

Itubasi,…

Apa kita bisa menjadi seperti mereka ?

Itutak istimewa,…

Semua pertanyaan biasa,… sudah umum orang bertanya seperti itu, bagaimana kalau sekarang kita bertanya, apa yang sudah kita lakukan dengan kemiskinan kita ?.Jangan kita bertanya apa kriteria miskinnya, karena tolok ukurnya berbeda. Bujangan dengan penghasilan satu juta per bulan akan berbeda dengan seorang penghasilan sama yang punya anak dan istri. Jadi apakah bujangan itu miskin ?

Bujangan itu akan merasa miskin bila di ukur dengan segolongannya,dengan usia dan penghasilan yang diperoleh. Cukup bijaklah bila kita merubah pertanyaan menjadi apa yang sudah kita lakukan dengan kemiskinan ataupun ketidak mampuan kita.

Bijaklah jika kita mau bertanya, bujangan dengan penghasilan satu juta hanya mampu menghidupi dirinya sendiri, tapi seorang suami penghasilan satu juta bisa mencukupi kebutuhan anak dan istri. Pertanyaannya kenapa dia bisa menghidupi sekian orang dengan penghasilan yang sama ? Pertanyaan ini menyinggung azas manfaat dari sebuah penghasilan.

Kesimpulannya,...

Bujanganitu miskin tapi tetap miskin dan suami itu miskin tapi kaya. Bujangan itu berinvestasi untuk jangka pendek dan suami itu berinvestasi untuk jangka panjang.

Apakah benar ?

Benar bila bujangan itu berinvestasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Salah bila ternyata ia berinvestasi untuk masa depannya tak kala ia memutuskan untuk berumah tangga nanti. Seperti apa investasi untuk dirinya sendiri ? kesenangan pribadi, kesenangan sementara itulah investasi diri sendiri.

Penghasilan satu juta habis tak tersisa, tak ada tabungan, tak ada deposito, tak punya simpanan, semua dicurahkan pada materi habis pakai, untuk satu kata “life style”. Mungkin kalimat besar pasak daripada tiang sangat dekat dengan istilah ini.

Penghasilan satu juta habis tak tersisa, tapi istri sehat, cantik, menggairahkan, dan anak sehat, cerdas, pintar, hingga punya peluang hidup lebih baik. Inilah investasi jangka panjang.

Istri yang sehat, cantik menggairahkan memicu kebahagian lahir dan batin dihati kita, anak yang sehat, cerdas, dan pintar membuat kita bangga dan berharap kelak mereka bisa hidup lebih baik dari kita. Semua itu membuat kita ihklas bertarung dengan waktu, bertarung dengan resiko, bertarung dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti.

Kenapa begitu ?

Kitarela bermacet-macet ria, berdesak-desakan dengan puluhan orang untuk berangkat kerja, atau saat tak punya pilihan selain bekerja ditempat yang tidak memberinya kenyamanan financial, sementara anak istri menunggu di rumah.

Ingin keluar dari pekerjaan?

Maumakan apa mereka ?

Ituyang menghambat kita keluar dari penderitaan kita, yang enggan kita ceritakan pada orang dirumah. Pilihannya, sebuah resiko yang harus dijalani seumur hidupnya.

Yang ingin saya garis bawahi adalah investasi panjang dari orang miskin.

Bujangan itu miskin walaupun ia menabung, walaupun ia memiliki rumah, karena semua itu hanya dirinya yang memanfaatkan tak ada yang bisa diwariskan ke garis keturunan dibawahnya.

Bujangan itu kaya, meskipun ia tak punya rumah, tak ada yang bisa disimpan, tak punya deposito, karena seluruh hidup dan hartanya diberikan tidak hanya pada dirinya. Ia berjuang untuk menyekolahkan adiknya, ia berjuang untuk mengobati kesehatan orang tuanya, ataupun ia berjuang untuk kepentingan orang banyak. Tak ada yang diwariskan kepada garis keturunan dibawahnya tapi bakti dan amal jariahnya sudah menanti di surga.

Ia berinvestasi waktu dengan kebajikan. Sebuah investasi keyakinan.

Suami itu miskin tapi kaya, walaupun ia tak bisa menabung, hidup masih mengontrak, kendaraan tak punya. Karena bakti dan tanggung jawabnya kepada orang yang dikasihi. Ia miliki harta yang tak ternilai, sebuah keluarga yang sayang kepadanya, yang peduli kepadanya.

Kebahagian dan tawanya tidaklah semu, itu nyata.

Lelah dan peluhnya tidaklah sia-sia, itu menjadi energi.

Sakit dan sedihnya bukanlah derita, itu membawanya pahala.

Manusia itu miskin dan tetap miskin, saat kemiskinan kita menjadi sebuah cindera abadi. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk orang lain, tak ada yang mampu kita sumbangkan untuk kepentingan orang banyak. Hanya untuk kepentingan pribadinya, maka tak ubahnya seperti bujangan miskin yang memanfaatkan hartanya untuk investasi jangka pendek.

Manusia itu miskin tapi kaya, saat kita miskin masih mampu memberi waktu kita, memberi harta kita untuk orang lain dan orang banyak. inilah perwujudan dari infak harta kita, bukan sodakoh bukan pula zakat. Sodakoh bersifat temporary, sewaktu-waktu tak ada nilai wajib dari diri kita sebagai manusia. Zakat bersifat tetap dan wajib tapi dibatasi waktu. Sedangkan infak bersifat wajib dan continue, tak dibatasi waktu.

Saatkita menerima saatnyalah kita wajib memberi.

Memberi bukan sekedar pada saat mereka menderita, pada saat mereka tertimpa musibah, tapi pada saat mereka eksis sekalipun. Itulah makna dari sebuah amal jariah. Memberi bukan hanya pada saat mereka butuh, memberi bukan hanya pada saat mereka lapar. Tapi memberi karena kita tahu manfaatnya, tahu artikulasi dari kata “Amal Jariah.

Ihklas memberi, ihklas berbagi. Tak khawatir amalnya dicuri, tak peduli dibawa kemana harta dan waktu yang kita curahkan.

Pernahkah bertanya apa yang telah kita berikan kepada keluarga kita ?

Akankahbertanya apa saja yang kita sumbangkan untuk badan sosial yang kita percaya ?.Semuadilakukan karena ihklas memberi, ihklas berbagi. Kalaulah itu diselewengkan bukan kita yang merugi, Karena sejatinya Tuhanlah yang memberikan itu untuk kita. Bukan dari keluarga yang kita nafkahi, bukan dari badan sosial yang kita sumbangkan.

Bilakah itu semua dilakukan pada saat kita miskin ?

Kitaihklas memberi, ihklas berbagi, akankah menjadikan kita miskin dan tetap miskin ?.

Bilakah itu dilakukan pada saat kita kaya ?,

Menjadikankita kaya tapi miskin ?

JawabnyaTIDAK. Dalam kemiskinan kita mampu berbuat. Itumenjadikan kita kaya hati, dalam kekayaan kita memungkinkan berbuat, itu menjadikan kita ORANG KAYA SEJATI.

Pilih mana miskin tetap miskin atau miskin tapi kaya ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun