Radikalisme dan ekstrimisme tentu menjadi ancaman serius bagi sebuah bangsa, termasuk Indonesia. Realitas itu semakin nyata ketika akhir-akhir ini, paham-paham redikal dan intoleran mulai bermunculan, berkembang semakin besar meski dengan cara pelan-pelan. Rakyat terkotak-kotakkan, pada akhirnya, karena yang satu menuduh yang lainnya hanya karena perbedaan yang sebenarnya bisa dikomunikasikan, apalagi terkait pemahaman.
Ini gejala internasional, dan munculnya ISIS seperti menjadi klimaks yang menakutkan. Ia kemudian menjadi musuh bersama segala bangsa karena kesadisan dipertontonkan dengan cara di luar nalar. Banyak negara yang rakyatnya menjadi korban dan akhirnya tertarik untuk menjadi anggota ISIS, tak terkecuali Indonesia.
Seperti diketahui, pemerintah Turki mendeportasi 152 warga negara Indonesia (WNI) yang diduga kuat berafiliasi pada ISIS. Tidak hanya 152 saja, ada 435 WNI lain yang terlibat ISIS dan direncanakan juga akan dipulangkan ke tanah air (tribunnews.com).
Polemik pun muncul terkait status dan bagaimana memperlakukan mereka. Ada yang keras menolak, ada yang biasa saja, dan ada pula yang menerima dengan beberapa persyaratan mutlak tentunya. Perbedaan pandangan pun terjadi di kalangan menteri. Sebagai "wakil" dari mereka yang bersikap keras adalah Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Ia berpendapat lebih baik mereka tidak usah kembali ke Indonesia. "Kalau mau berjuang, ya, berjuang saja di sana sampai mati"Â ucapnya tegas.
Tentu tidak bisa menyalahkan ada pandangan seperti itu, karena sebagai mantan militer, ia barangkali memiliki pengetahuan tentang bagaimana repotnya ngurusin  mereka, nantinya. Apalagi jelas-jelas mereka telah "meninggalkan" Indonesia demi cita-cita (atau mungkin ilusi) terbentuknya negara Islam. Sah-sah saja pandangan seperti itu. Manusiawi sekali, terutama di tengah arus kebencian terhadap ISIS yang benar-benar sadis.
Namun pandangan yang lebih "elegan" dan manusia muncul dari Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Menurut Puan Maharani, atas nama kemanusiaan dan Undang-undang, Indonesia harus menerima kembali mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia karena bagaimana pun mereka tetap warga Indonesia yang harus tetap dijamin kehidupannya.
Puan Maharani mempertimbangkan, bahwa dengan kemauan mereka untuk kembali, siapa tahu itu merupakan I'tikad baik dari mereka untuk sadar dan melakukan "pertaubatan".
"Bukan tugas negara untuk diskriminatif terhadap warganya. Ada hak yang melekat pada individu, yang itu dijamin oleh Undang-undang. Selama masih tercatat sebagai warga negara Indonesia, pembelaan terhadap haknya menjadi keniscayaan negara. Dalam batas tertentu, itu kewajiban negara"Â begitu kata Puan Maharani, suatu ketika saat ditanya tentang nasib WNI yang dideportasi oleh Turki karena terkait dengan gerakan radikal ISIS.
Kesediaan mereka untuk kembali, tentu saja dibarengi dengan pengawasan. Mereka tetap mendapatkan haknya sebagai warga negara, tapi ada beberapa hal yang wajib mereka terima, yaitu keharusan mereka untuk masuk balai deradikalisasi. Di tempat itu, mereka akan "diobok" dengan cara-cara tertentu, untuk menghilangkan pikiran dan pandangan radikal yang mereka miliki. Puan Maharani tak menjelaskan secara rinci apa materi yang diberikan, yang pasti tentang Pancasila, pendidikan karakter, dan pandangan keagamaan yang sesuai dengan Indonesia.
Puan Maharani juga telah melakukan koordinasi dengan Kementerian Sosial, Khafifah Indarparawansa, Kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius, serta sudah menghubungi beberapa kepala daerah tempat asal para deportan tersebut.
Tentang berapa lama mereka harus menempati balai deradikalisasi, Puan Maharani juga tidak menyebutkan waktunya tapi yang pasti harapan besar, bahwa mereka dapat segera dideradikalisasi sehingga bisa kembali ke tempat masing-masing. Atau jika mereka tidak mau dan tidak bisa kembali ke tempat asal, mereka akan di minta untuk berbaur ke suatu daerah yang menerima, dan mereka mau.