[caption id="attachment_351056" align="aligncenter" width="300" caption="Kue tart, identik dengan moment ulang tahun, meski tidak selalu - dok. pribadi"][/caption]
Ibu, ratu surgawi yang turun ke bumi untuk menghadirkan aku ke dunia ini. Demi aku engkau rela menderita sakitnya bersalin. Untaian senyum tak pernah lepas dari bibirmu.
--
Inilah kasih Ibu sepanjang nadi, bahkan hingga ia telah tiada, doa-doanya senantiasa berpendaran menuju ke haribaanNya. Doanya terasa hingga sekecil-kecilnya doa; lisan di bibirnya hanya hal-hal terbaik saja.
Ini bukan tentang memuji seorang Ibu yang telah melahirkan anaknya. Pun terlalu sederhana apabila dikatakan sebuah ode untuknya. Ini hanya tentang sebuah permenungan sederhana saja mengenai hidup dan kehidupan yang ditopang hanya oleh kasih sayang semata.
**
Bahwa doa memiliki kekuatannya sendiri. Hingga akhirnya Ia mempertemukan aku dengan seseorang. Ia berharga hingga kini. Melebihi batu mulia, melebihi emas dan perak. Bahkan melebihi dunia ini. Sebab, kurasa ia memang bukan berasal dari dunia ini.
Seseorang ini telah banyak bertutur tentang pusarnya dunia. Membimbingku dalam nama cinta. Ia tak pernah melupakan kapan aku hadir ke dunia ini. Ia selalu mengucapkan doa-doa terindahnya untukku.
Suatu hari cerah, ia berkisah tentang pemaparan batinnya tentang ulang tahun, dan ia berkenan menyampaikannya kepadaku. Ia mengajakku untuk tidak mengagungkan perayaan ulang tahun. Sementara menurutku sendiri, bahwa moment perayaan ulang tahun adalah saat tepat untuk lebih mengenangkan bagaimana perjuangan Ibu di saat menghadirkan aku ke dunia ini. Bagaimana Ibu ikut masuk di dalam salah satu proses penciptaanNya, untuk melahirkan seorang warga baru di tengah hiruk pikuknya dunia, yakni aku.
Setelah kupaparkan bagaimana aku menyikapi tentang perayaan ulang tahun itu, dengan lembut penuh kasih sayang sambil menepuk lembut pipiku, ia kembali bertutur bahwa untuk mengingat kesusahan Ibu saat melahirkan anaknya, bisa dilakukan kapan saja, tidak harus tepat dengan penanggalan hari ulang tahun.
Aku terhanyut dengan pituturnya. Pencerahan batinku kembali menemukan tuannya. Aku mengerti bahwa di dalam rangka menyelami pituturnya, terkadang tidak semudah aku menghirup oksigen cuma-Cuma ini. Namun pintu dan jendela di ruang renungku harus senantiasa terbuka lebar agar dapat menerima tiap piwulangnya dengan positif dan riang.
Ibuku tersayang, kan kusematkan bait-bait indah untukmu tiap saat, seiring hembusan nafasku. Kumuliakan engkau di antara makhluk mulia. Kusanjung engkau dengan senyum cinta terkasih kepada sesama. Terimalah salam baktiku bagimu dan bagi Bapak terkasih.
**
Matur nuwun sanget kagem Bapak, Ibu untuk seluruh hidupmu bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H