"Dilarang ngelamun menjelang magrib, hati-hati loh nanti kesambet." Ucap Anggit sambil tertawa renyah.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Dialah sahabat kecilku yang sampai saat ini masih selalu menemaniku, lebih tepatnya menggangguku. Entah itu di rumah, di kampus, hingga tempat kerja. Rasanya yang kulihat hanya muka jailnya saja yang sering bersliweran di depan mata. Terkadang aku merasa ingin sekali menghindarinya, sehari saja. Tetapi Anggit tetap saja selalu ada alasan untuk menemuiku.
Seperti biasa, aku selalu membiarkan Anggit duduk di cafe ku sambil menikmati kopi buatanku. Setelah itu, dia akan asik sendiri dengan tumpukan buku yang selalu dibawanya. Tentu saja, jika dia sudah membuka buku maka tugasku hanya satu, menunggunya selesai baca.
Langit jingga mulai tampak menghiasi langit. Ada perasaan gelisah dalam hatiku. Sepertinya gadis senja itu tidak muncul, sudah hampir 30 menit lebih dari biasanya, sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan datang.
"Kamu sedang menunggu orang?" tiba-tiba Anggit sudah berdiri di depanku.
"Tidak. Tidak menunggu siapa-siapa?" Jawabku.
"Jelas-jelas dari tadi kamu lihat jam terus. Masih mau berbohong?" Anggit sewot menampilkan muka sok tahunya yang kumat lagi.
"Capuccino panasnya 2 ya."Suara seorang gadis yang beberapa hari ini membuatku penasaran.
"Oke, siap. Ditunggu ya." Jawabku dengan ramah. Namun seperti biasa gadis itu hanya membalasku dengan anggukan kepala, kemudian diam dan pergi selepas membayar di kasir.
Kusiapkan pesanannya dengan cepat. Sebenarnya ada partnerku yang biasa gantian, namun entahlah khusus gadis ini adalah sebuah kesempatan yang tidak boleh aku lewatkan.
"Silahkan kopinya. Sendirian saja, Mbak?" tanyaku sambil meletakkan 2 cangkir kopi hangat di depannya.