Mohon tunggu...
Winda Sevvia
Winda Sevvia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurikulum Pendidikan Sekuler Melahirkan Kaum Munafik di Tengah Umat

7 Maret 2017   22:20 Diperbarui: 7 Maret 2017   22:52 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momentum akbar bela Quran 212 (2 Desember 2016) yang lalu telah menampakkan betul mana umat Islam di Indonesia yang tulus membela Quran dan mana kaum munafik. Karena al Quran adalah al Furqon (pembeda), yang memisahkan antara yang haq dan bathil. Jauhnya agama dari kehidupan, termasuk di sekolahan membuat umat Islam tidak sepenuhnya mencintai dan mengenal al Quran. Keberadaan kaum munafik ini bahkan berasal dari kalangan cendekia yang terpelajar, fenomena ini menggelitik dan sesungguhnya adalah buah dari perjalanan panjang sekulerisasi pendidikan di negeri ini. Tulisan ini mencoba mengupas hubungan antara keberadaan kaum Munafik dan jauhnya agama dalam dunia pendidikan.

Sekulerisasi pendidikan di Indonesia mungkin setua Republik ini berdiri. Sekulerisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.

 

Membaratkan Kiblat Pendidikan Islam

Sejak enam dekade terakhir trend belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni penguasaan sains dan teknologi, tapi juga sudah merambah ke pada bidang keilmuan dan pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit dan semakin banyak terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di perguruan tinggi Islam.

Yang terbaru bahkan Kementerian Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan tinggi Islam dengan pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas pemerintah Kanada sejak 2011 yakni Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD), telah berlangsung sejak 2011. Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu, Pemerintah Kanada dengan pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda. (Kemenag.go.id, January 2017)

Dari data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Dan sekarang,  perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat. Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28 wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.

Derasnya pembaratan perguruan tinggi Islam sebagai faktor eksternal, dilengkapi dengan kondisi internal umat yang mengalami tren kemunduran akibat sudah kehilangan kekayaan pemikiran dan metode berpikirnya yang khas. Hingga sampai level paling nadir,  dimana untuk belajar Islam pun kaum Muslim hari ini berkiblat ke Barat untuk merujuk metode orientalis mempelajari Islam. Ironis.

Sebenarnya telah terjadi sebuah proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Dan itu diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam. Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang berkiblat ke Barat.

Lutfie Assyaukanie dari aktivis Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun