Air merupakan sumber daya alam yang sangat vital bagi kelangsungan hidup umat manusia. Manusia biasanya menggunakan air untuk keperluan minum, mandi, mencuci, dan mengairi lahan pertanian. Namun, akhir-akhir ini, di beberapa wilayah di Indonesia seperti Jakarta Timur dan Jakarta Utara, air menjadi barang langka. Krisis air di beberapa wilayah ini umumnya disebabkan oleh infrastruktur air minum yang sangat terbatas. Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Dr. Ir. Setyo S. Moersidik, DEA mengatakan bahwa kecepatan pengadaan infrastruktur air minum lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penduduk di Indonesia (Seminar Hari Air Nasional, 2010). Jadi, tidak heran jika banyak penduduk Jakarta yang tetap memilih untuk mengonsumsi air tanah, padahal penggunaan air tanah yang berlebihan ini dapat menyebabkan penurunan muka tanah dan intrusi air laut. Hal ini menjadi masalah besar dan penting sehingga memerlukan suatu solusi yang cepat, tepat, dan komprehensif. Salah satu solusinya adalah mencari sumber air alternatif yang dapat mensubtitusi fungsi air tanah.
Sumber air alternatif yang paling potensial di Indonesia adalah air hujan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan curah hujan. Setiap tahunnya, curah hujan di Indonesia dapat mencapai 2000-4000 mm. Sayangnya, ketika curah hujan di Indonesia cukup tinggi, masyarakat jarang sekali memanfaatkannya. Air hujan yang berlimpah ini lebih banyak terbuang sia-sia dibandingkan dimanfaatkan. Sebaliknya, ketika curah hujan di Indonesia sangat rendah, masyarakat justru kekurangan air. Hal ini menjadi suatu ironi yang tak terelakkan ketika negara lain yang curah hujannya terbatas bisa memanfaatkan air hujan dengan sangat baik seperti Inggris. Dengan curah hujan hanya sekitar 700 mm/tahun saja, Inggris tidak pernah mengalami kekurangan air. Mereka membangun danau-danau buatan untuk menampung air hujan, sehingga pada saat musim kemarau datang mereka tetap memiliki cadangan air.
Sebenarnya, sudah ada masyarakat Indonesia yang memanfaatkan air hujan dengan cara menampung air hujan terlebih dahulu di dalam suatu bak penampungan. Namun, air hujan yang ditampung, biasanya hanya dimanfaatkan untuk keperluan mencuci saja bukan untuk mandi apalagi minum. Untuk kebutuhan air minum, masyarakat masih bergantung pada air tanah dan air PAM, padahal cadangan air tanah di Indonesia semakin menipis dan harga air PAM juga tergolong mahal (Dinas Pengembangan Air Minum Kementrian Pekerjaan Umum, 2010). Selain itu, untuk mengonsumsi air PAM sebagai air minum pun perlu proses pemasakan terlebih dahulu agar kuman dan bakteri yang terkandung dalam air PAM mati. Proses pengolahan air minum seperti ini menjadi tidak praktis dan boros energi. Jadi, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa metode pemanfaatan air hujan di Indonesia sampai saat ini masih belum optimal.
Dari uraian di atas, tentu kita berpikir mengapa Indonesia tidak memulai untuk mengembangkan suatu teknologi yang dapat mengolah air hujan yang berlimpah menjadi air siap minum yang memenuhi syarat kualitas air minum?
Berdasarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, air minum harus bebas dari komponen anorganik dan organik seperti bakteri, racun, limbah berbahaya, dan zat kimia. Saat ini, sudah banyak sekali teknologi yang dapat menghilangkan komponen anorganik yang terkandung dalam air, misalnya dengan filtrasi. Begitu juga dengan teknologi penghilangan komponen organik, seperti teknologi disinfeksi bakteri. Untuk skala sederhana, disinfeksi bakteri dapat dilakukan dengan memberikan kaporit ke dalam air, atau dengan menjemur air dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet. Disinfeksi bakteri dengan kaporit akan menyebabkan air berbau kaporit dan mengandung klorin, sehingga tidak layak diminum. Jika kita menggunakan radiasi sinar matahari, pada cuaca cerah biasanya dibutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 5-6 jam untuk proses disinfeksi bakteri secara sempurna (www.who.or.id, 2010). Oleh karena itu, teknologi yang cepat, dan efektif untuk disinfeksi bakteri sangatlah diperlukan. Salah satu teknologi yang dapat mendisinfeksi bakteri adalah fotokatalisis. Teknologi ini merupakan teknologi terintegrasi yang melibatkan reaksi fotokimia oleh suatu katalis. Reaksi ini mengakibatkan dinding dan membran sel bakteri rusak, sehingga bakteri mati. Katalisnya disebut sebagai fotokatalis karena hanya akan aktif ketika terkena cahaya, termasuk cahaya matahari. Katalis yang digunakan, yaitu titanium oksida (TiO2), tergolong aman dan ramah lingkungan karena non toksik. Selain itu, karena menggunakan energi radiasi sinar matahari, fotokatalisis termasuk teknologi hemat energi. Dengan demikian, fotokatalisis merupakan teknologi yang cukup solutif untuk mendisinfeksi bakteri.
Dalam upaya pengaplikasian teknologi ini, saya dan teman-teman saya, Ayuko Cheeryo Sinaga dan Ikha Muliawati, di bawah bimbingan Dosen Ahli Fotokatalisis Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia, yaitu Dr. Ir. Slamet, MT., telah melakukan riset kecil-kecilan untuk disinfeksi bakteri dengan teknologi fotokatalisis. Dengan menggunakan air keran rumahan yang mengandung bakteri sebagai sampel, kami melakukan eksperimen dengan tiga macam variasi kondisi, yaitu: pertama, sampel diradiasi dengan sinar UV saja dan kedua, sampel diradiasi dengan sinar UV dan terdapat fotokatalis. Masing-masing eksperimen dilakukan pada kotak uji acrylic berlapiskan aluminium foil yang berisi 6,75 L air sampel, dengan ±1g fotokatalis, sebuah lampu UV-A dengan daya 8 W yang diradiasikan selama 80 menit.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan TiO2 Degussa P-25 berukuran nano sebagai katalis yang kemudian dilapiskan ke batu apung. Batu apung yang digunakan terdiri dari dua variasi ukuran, yaitu diameter 0,5-1 cm, dan diameter 1-3 mm. Dengan memvariasikan ukuran batu apung, akan terdapat batu apung yang tenggelam di dasar kotak uji dan mengapung di permukaan sampel. Selain itu, dengan ukuran yang batu apung yang lebih kecil, maka luas permukaan kontak antara fotokatalis dengan sampel akan semakin besar, sehingga proses disinfeksi bakteri akan semakin efektif. Hasil penelitian kami cukup memuaskan, sampel pertama menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebanyak 7,74% dan sampel kedua 27,83%. Dengan demikian, terbukti bahwa dengan adanya fotokatalisis proses disinfeksi bakteri menjadi tiga setengah kali lebih cepat dibandingkan dengan tanpa fotokatalis. Untuk mencapai proses disinfeksi bakteri secara sempurna (mematikan seluruh bakteri di dalam air), kita dapat menambah jumlah katalis dan juga menambah intensitas cahaya yang digunakan. Secara teori, proses disinfeksi bakteri berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang digunakan. Jadi, jika kita menggunakan matahari yang notabene intensitasnya sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan lampu UV yang digunakan dalam penelitian ini, maka proses disinfeksi juga seharusnya jauh lebih cepat.
Kesimpulannya, jika kita mengombinasikan teknologi filtrasi yang telah ada dengan teknologi fotokatalisis, air hujan yang selama ini jarang kita manfaatkan dapat kita olah menjadi air siap minum. Kedua teknologi ini merupakan teknologi yang sangat potensial untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan ketahanan air nasional secara komprehensif.
[caption id="attachment_151437" align="aligncenter" width="300" caption="Skema ide rancangan sistem pengolahan air hujan menjadi air minum"][/caption]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI