Food Waste adalah limbah makanan yang terbuang akibat berbagai penyebab, seperti memasak dalam jumlah berlebih, tidak menghabiskan makanan, atau pengolahan yang buruk  sehingga makanan menjadi rusak. Limbah makanan ini menjadi masalah lingkungan karena ketika membusuk di tempat pembuangan akhir, sisa makanan akan menghasilkan gas metana yang berdampak pada perubahan iklim.
Setelah memahami apa itu food waste, mari kita bahas salah satu solusi inovatif untuk mengatasi masalah ini, yaitu maggot. Maggot merupakan larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) sehingga sering disebut maggot BSF. Lalat BSF sendiri memiliki nama latin Hermetia illucens. Bentuknya mirip ulat dengan ukuran larva dewasa 15-22 mm dan berwarna coklat. Maggot atau larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF), memiliki peran penting dalam pengolahan food waste, maggot mampu mengurai sisa makanan dengan cepat, mengubahnya menjadi bahan organik yang dapat digunakan kembali. Dengan demikian, maggot menjadi solusi ramah lingkungan dan efisien untuk menangani masalah food waste.
Proses perkembangbiakkan maggot di SDN 9 Nagrikaler melibatkan seluruh warga sekolah, yang terdiri dari Bapak dan Ibu guru, pihak mahasiswa, peserta didik, serta penjaga sekolah. Perkembangbiakkan maggot membutuhkan kerjasama seluruh pihak demi kelancaran pengabdian dari awal hingga akhir pengabdian. Â Pengabdian ini dilakukan dari minggu ke-9 pada pelaksanaan program P3K di SDN 9 Nagrikaler yang akan berakhir pada minggu ke-16. Perkembangbiakkan maggot ini dilakukan di area belakang SDN 9 Nagrikaler.
Perkembangbiakkan magot dimulai dari siklus pertama (larva) Black Soldier Fly yang melalui proses metamorfosa. Proses tersebut memakan waktu 40 hari hingga 45 hari. Fase tersebut dimulai dari telur BSF yang dapat menetas dalam kurun waktu 3-4 hari. Kemudian pada hari pertama setelah menetas, bayi larva memiliki ukuran panjang tidak lebih dari 1 mm atau hampir tidak terlihat. Larva dikatakan sudah dewasa ketika sudah berwarna putih kecoklatan dan mulai disukai hewan atau serangga kecil. Fase selanjutnya adalah masa prepura, memiliki warna yang terlihat yaitu warna hitam dan mulai suka memanjat untuk mencari tempat kering dan sudah tidak akan makan. Pada fase pupa, sudah tidak dapat bergerak dalam rentang waktu 7 hari -- 1 bulan baru akan menetas. Setelah menetas memasuki fase BSF, pada fase ini tidak makan selama hidupnya sebelum akhirnya sampai pada fase kawin. BSF betina akan bertelur 2 hingga 3 hari setelah kawin, sedangkan jantan akan mati setelah kawin.
Terdapat tiga jenis kandang magot yang kami buat yaitu kandang untuk bayi magot terbuat dari gabus kecil, kandang magot dewasa terbuat dari galon bekas yang dipotong menjadi dua kemudian diisi dengan kotoran sapi yang telah diproses, dan kandang uji coba larva menjadi BSF terbuat dari kayu dan disekeliling kandang diberi waring.
Jenis pakan moggot dibedakan berdasarkan pertumbuhan maggot. Telur maggot yang kemudian menetas menjadi bayi-bayi maggot diberikan pakan bubur bayi dan madu. Setelah dua minggu bayi-bayi maggot berubah menjadi maggot yang siap diberikan limbah rumah tangga seperti sisa makanan dapur, buah-buahan sisa, sayuran sisa, kotoran hewan yang telah diproses, serta sampah organik lainnya yang tidak mengandung bahan pengawet.
Pengumpulan limbah rumah tangga dilakukan oleh peserta didik, kemudian mahasiswa memilah kembali limbah tersebut agar pakan yang dihasilkan berkualitas baik. Pakan maggot yang terlalu basah dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti tumbuhnya jamur dan bakteri, penyakit pada maggot, dan kualitas pertumbuhan maggot yang menurun. Setelah dipilah limbah kemudian dipotong-potong, kemudian dicampurkan dengan cairan molasses (sumber nutrisi) dan M4 (untuk mempercepat proses fermentasi dan mengurangi bakteri).
Maggot yang dikembangbiakkan akan dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak lele dan sisa limbah rumah tangga akan dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Alasan memilih ternak lele bukan hanya karena nilai gizinya yang tinggi melainkan di SD Negeri 9 Nagrikaler tersedianya lahan untuk ternak lele yang siap digunakan dan kami manfaatkan. Dengan memanfaatkan maggot, peternakan lele tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga lebih ramah lingkungan karena mengurangi limbah organik.
Sementara itu, limbah sisa makanan maggot digunakan sebagai pupuk kompos untuk menyuburkan tanaman di SDN 9 Nagrikaler. Pupuk ini membantu memperbaiki struktur tanah dan mendukung program penghijauan sekolah. Selain manfaat ekologis, penggunaan pupuk kompos juga mengajarkan siswa untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan pentingnya pengelolaan limbah.
Sinergi antara maggot sebagai pakan lele dan pupuk kompos menunjukkan bahwa sistem ini tidak hanya menawarkan manfaat ekonomis tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Dengan ini, program pengelolaan maggot tidak hanya memberikan dampak ekonomi melalui ternak lele, tetapi juga menyumbang pada praktik ramah lingkungan yang bermanfaat bagi pendidikan dan komunitas setempat. Langkah ini menjadi contoh nyata bagaimana pengelolaan limbah organik dapat memberikan solusi berkelanjutan untuk kebutuhan manusia dan lingkungan secara bersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H