Kekuasaan (Power) merupakan inti yang dicapai dalam politik. Kekuasaan memiliki arti suatu kapasitas, kepabilitas, meyakinkan, mengendalikan, menguasasi dan memerintah orang lain. Sejarah permasalahan pertama dalam perpolitikan islam adalah paska wafatnya Nabi Muhammad SAW yaitu masalah kekuasaan politik siapa yang akan menggantikan beliau untuk memimpin umat.
Perbedaan konsep mengenai pemikiran dan pemahaman akan hubungan agama dan Negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi menjadikan beragam konsep tentang penafsiran konsep politik dalam islam. Dalam pemikiran politik Al-Ghazali, agama dan politik tidak bisa di pisahkan dimana dunia dan akhirat mempunyai kaitan yang sangat erat.Â
Oleh karena itu, dalam penafsirannya, seorang penguasa wajib untuk menyempurnakan agamanya dan menjauhkan diri dari hawa nafsu, bid'ah, keraguan, kemunkaran, dan setiap hal yang tidak sesuai dengan syari'at islam sehingga dalam konteks pemerintahan seorang penguasa tidak dapat dipisakan dari sosok ulama.
Ulama berasal dari kata majemuk Bahasa Arab "alim" yang secara harfiyah memiliki arti orang yang berilmu. Pada masa-masa pertama islam dan seterusnya yang dimaksud ulama adalah orang-orang yang mengerti ilmu agama.Â
Sedangkan di Indonesia, kata ulama mengalami penyempitan kata karena memiliki pengertian orang yang memiliki ilmu pengetahuan tentang fiqih dan identik dengan sebutan fuqoha. Ciri khas ulama di Indonesia yaitu orang yang memiliki ilmu agama dan mempunyai rasa tunduk dan takut kepada Alloh SWT.
Dalam pandangan Al-Ghazali klasifikasi ulama terbagi menjadi tiga, yaitu :
- Ulama Hujjah, merupakan ulama yang mempunyai keahlian di bidang agama, dalam artian mengutamakan perintah Allah SWT.
- Ulama Hujjaj, merupakan ulama yang berjuang menegakkan agama Allah SWT dan memberantas kedzaliman.
- Ulama Mahjuj, merupakan ulama yang rakus terhadap kehidupan duniawi dan memperbudak dirinya terhadap penguasa yang dzalim.
Hubungan ulama dan pemimpin menurut pemikiran Al-Ghazali adalah seorang pemimpin atau penguasa harus selalu mendekatkan diri kepada para ulama dengan datang lansung ke majelis atau rumahnya, bukan sebaliknya malah ulama yang mendatangi penguasa.Â
Sebagaimana dalam karyanya At-Tibr Al-Masbuk Fi Nasihat Al-Mulk menjelaskan bahwasannya seorang pemimpin harus selalu rindu akan ulama. Seperti yang dicontohkan Al-Ghazali yaitu pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid yang datang langsung ke rumah Fudhail bin 'Iyadh untuk selalu mendengarkan nasehat.
Menurut Al-Ghazali seorang ulama diibaratkan seorang anak kecil yang membutuhkan bimbingan orang tua, selalu ditunjukan ke jalan perbuatan yang benar dan diperingatkan jika melakukan hal yang tidak sesuai.Â
Jadi kehadiran ulama dalam hal ini adalah menjaga dan mengawasi jalannya perpolitikan agar tidak lepas kendali, karena jika lepas akan berakibat patal bagi semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H