Papua hingga saat ini menjadi perhatian publik nasional dan internasional karena situasi yang jauh dari kesan kondusif dan aman. Sejak awal, baik saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum PEPERA atau sesudah Papua secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia, pemerintah memilih dan menggunakan pendekatan keamanan atau militerisme dengan alasan untuk menegakkan kedaulatan negara, mengikis habis gerakan separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua.
Bahkan pendekatan ini juga dijalankan oleh pusat untuk menangani sejumlah gerakan masyarakat sipil yang kritis (OPM) terhadap pemerintah maupun perlawanan dari kelompok di Papua yang sejak awal menolak integrasi Papua ke Indonesia dengan jalan damai.
Situasi di Papua semakin diperparah oleh ulah oknum pejabat pemerintahan daerah yang bersenang-senang dan berpesta pora dengan menjarah uang negara seenaknya. Mungkin, termasuk dari dana otsus tadi. Sebab, bukan lagi rahasia, betapa sering kita mendengar para pejabat Papua bolak balik ke Jakarta ketimbang mengurus masyarakatnya.
Permasalahan di Papua semakin kompleks dengan adanya beberapa alasan, kenapa pemerintah tidak akan mampu mengatasi masalah Papua. Pertama, gerakan separatisme ini yang sekarang mulai didukung oleh opini internasional justru memanfaatkan titik lemah Pemerintah Indonesia yang ternyata sangat sulit mengambil langkah-langkah besar untuk melindungi bangsa dan negaranya. Kedua, sikap Amerika Serikat masih multitafsir. Bisa jadi nantinya Amerika Serikat membela kemerdekaan Papua karena Indonesia dianggap “gagal menyejahterakan” Papua.
Dana APBD banyak sekali yang dikorupsi oleh oknum – oknum pemerintah daerah. Padahal seharusnya pemerintah daerah Papua lebih memihak pada rakyat Papua, nyatanya tidak sama sekali. Bahkan krisis di Papua apabila dianalisis lebih lanjut lagi maka akar permasalaha utama selain agenda neoliberalisme adalah tindak – tanduk korupsi para pejabat. Mulai sistem pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah Papua tidak lepas dari aksi korupsi segelintir oknum. Bayangkan saja dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh pemerintah sebesar Rp 52 Triliun hanya dialokasikan sebesar Rp 20 Triliun. Rp 32 Triliun banyak dikorupsi oleh pejabat – pejabat daerah Papua hanya untuk mementingkan kepentingan mereka sendiri. Lagi – lagi dampak hal ini adalah pada rakyat Papua yang semakin sengsara. Sehingga apabila dirumuskan menjadi beberapa kelompok maka didapatkan faktor – faktor penyebab krisis Papua yang berasal dari Pemerintah Daerah Papua.
Dampak krisis Papua diantaranya adalah hilangnya kepecayaan pada pemerintah. Pemerintah harus berupaya keras untuk mengubah stigma yang kini lekat dengan Papua. Stigma separatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru. Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam ketidakpercayaan (distrust). Setiap kegiatan kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI.
Selain itu, semakin daerah Papua mengalami krisis dan konflik, maka pihak asing semakin dengan mudah mengadu domba antara rakyat Papua dan pemerintah. Dengan begitu, pihak asing dengan mudah menanamkan saham dan ideologi mereka ke rakyat Papua. Ideologi neoliberalisme semakin tertanam dengan kuat dan mengakar di pemerintah Indonesia. Kasus Freeport merupakan salah satu contoh pihak asing yang semakin menguatkan sahamnya di dalamnya.
Pemerintah pusat maupun daerah sesegera mungkin mewujudkan kesejahteraan di Papua. Dibutuhkan langkah cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik. Jangan sampai dana otsus atau alokasi dana lain untuk Papua bocor dimana-mana dan menyebabkan frustasi masif masyarakat Papua yang berhak menerimanya. Upaya mewujudkan kesejahteraan juga harus barengi dengan dialog berkelanjutan antar pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, terutama dengan mereka yang saat ini berada di titik rawan konflik Papua.
Winda Rachelina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H