Mohon tunggu...
Winda manhartika
Winda manhartika Mohon Tunggu... Guru - Tidak Ada

Penikmat sastra, sajak, puisi, filsasat, sejarah, fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Labuhan Takdir (Bab 3)

21 Oktober 2019   00:04 Diperbarui: 21 Oktober 2019   00:56 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAB 3
HANTU MASA LALU


Untuk pertama kalinya, selama empat tahun aku jalani bersamanya, aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Namanya Dewa Mahendra, seniorku di UGM, dua tahun diatasku. Mahasiswa jurusan teknik bangunan UGM, yang sangat hobby main bola. Dia menyatakan perasaannya padaku saat malam penutupan OSPEC, dia salah satu senior yang ikut menjadi panitia OSPEC ku waktu itu. Dan dia adalah pacar pertamaku, yah, aku menerima pernyataan cintanya, karena dari awal aku pun telah menaruh hati padanya.
Hari itu adalah hari jadian kami yang ke empat tahun, seperti biasa setiap tahun kami selalu merayakannya di pantai Parang Tritis, dibawah langit senja, dia menggenggam erat tangan ku, dan untuk pertama kalinya juga aku merasakan debaran saat tangannya yang hangat menyatu dengan tanganku yang selalu dingin. Entah kenapa sepekan terakhir ini dia terlihat berbeda, begitu cerah, begitu bercahaya, tak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini aku benar-benar ingin malam tak datang, aku benar-benar ingin waktu berhenti, saat ini juga, saat dia memberikan sebuah senyum untukku, senyum yang sama dengan hari-hari sebelumnya, senyum yang selalu ramah dan tulus, tapi entah kenapa hari ini begitu berbeda, setelah empat tahun, baru kali ini aku terpikat oleh senyumannya. Ohh tuhan, mengapa aku baru sadar, ternyata dia lelaki yang seperti ini, lelaki yang tampan, tulus dan lembut dalam bertutur. Kemana saja aku selama ini ? kenapa aku baru menyadarinya sekarang ? ahhhh, benar-benar senyum yang memberi kedamaian.
Kami duduk di atas sebuah batu karang besar, menatap laut sore yang biru menghitam, mentari senja pancarkan kilauan emasnya yang menyilaukan, memantul di buih-buih ombak sehingga terlihat seperti percikan api. Awan-awan yang memalu, tampak merah , merona, berbaris dengan indah, seperti lukisan saja. Bulanpun telah tampak hadir ditengah-tengah langit yang gagah. Burung-burung terbang bergerombol pulang ke sarang, seakan tak sabar ingin segera memberi makan anak-anak mereka. Suara deburan ombak yang menghempas batu karang begitu kontras, percikannya mengenai sepatuku, aku meninggikan kakiku, berusaha untuk menghindar.
"takut basah ya ?" suaranya mengejutkanku.
"ahhh,, enggak kok, Cuma reflek aja" aku mencoba tersenyum.
"turun yuk, aku ingin main ombak" ajaknya, seraya mengulurkan tangan.
"tumben ? seperti anak kecil saja, waktu kecil kamu nggak pernah main ombak ya ?" candaku. Dia mengenggam tanganku dan menggandengku turun, melompati batu-batu karang. Ketika ombak menyentuh kakinya dia berlari seperti anak kecil, tertawa dengan riang, aku ikut tertawa, tanpa tahu apa yang ditertawakannya. Dia memungut sebuah ranting pohon, dan menulis sesuatu diatas pasir, kata-kata yang takkan pernah aku lupakan " Sara, will you marry me ??" aku hanya tersenyum melihat apa yang ditulisnya.
"Sara, aku serius, maukah kamu menikah denganku ?" katanya kemudian, karna melihat tak ada respon dariku.
"Tidak. Tidak untuk sekarang Dewa" jawabku datar.
"kenapa? Empat tahun ini, aku pikir sudah cukup lama kita saling mengenal, aku ingin serius sama kamu"
"udah deh, ga usah mikir itu dulu, fokus dulu tuh sama pekerjaan kamu, bukankah minggu depan kamu ada wawancara kerja ? Udah prepare belum kamu? Kamu udah hampir setahun lulus loh, dan sampe sekarang belum dapat kerja, masa kamu kalah sama aku, baru wisuda aja udah banyak dapat tawaran kerja, belum lagi tawaran beasiswa pascasarjana ke KorSel" jawabku enteng.
"udah kok, makanya aku tanya kamu tentang ini, jika aku diterima kerja nanti, aku ingin kita segera menikah, karna aku juga sudah mendapat restu dari orang tuaku. Aku ingin kamu halal bagiku" katanya serius.
"tapi kan tidak segampang itu Dewa, kita mau tinggal dimana ? aku tidak mau menumpang dengan orang tua, lagi pula aku mau lanjut kuliah pasca sarjana, maafkan aku baru memberi tahu kamu, tapi aku sudah memutuskan untuk menerima tawaran beasiswa itu, aku ingin fokus kuliah dulu, lalu punya pekerjaan tetap, setelah itu baru menikah" bantahku cepat, membuat dia terdiam.
"kamu yakin?" tanyanya serius. Aku mengangguk yakin.
"ya sudah aku akan menunggunya, walau menurutku akan lebih baik kalau kita segera menikah, kamu juga bisa tetap kuliah S2 kok, walau mungkin bukan di luar negeri, di Indonesia banyak kok kampus yang bagus, tapi  ya udah aku paham, aku berharap, aku bisa menunggu kamu hingga kamu siap" katanya pasrah.
"maaf, aku bukan nggak mau menikah sama kamu, tapi aku nggak mau buru-buru aja, makasih kamu udah ngerti" aku jadi bingung sendiri, aku berlari mengejar ombak, dia ikut berlari mengejarku, dan mendapatkanku dengan mudah, dia memelukku, hangat, nyaman, aku hanya diam, pasrah dalam pelukannya. Dia melepaskan pelukannya, memandang wajahku, lama, dia mencium keningku, aku memejamkan mata, mencoba menikmati suara nafasnya. Dia memelukku lagi, kali ini lebih erat, dan berbisik ditelingaku
"aku cinta kamu Sara, sangat mencintai kamu, melebihi apapun di dunia ini, aku benar-benar mencintai kamu, kamu harus tau itu" nafasnya terasa hangat.
"aku tau, aku juga cinta kamu Dewa" balasku dengan senyum.
Lalu tiba-tiba saja langit gelap, petir menyambar ombak, aku kaget spontan melepaskan diri dari pelukan Dewa, aku berlari ke pinggir pantai, dewa berusaha mengejar, entah kenapa aku tidak mau menoleh kebelakang, aku hanya terus berlari, sementara suara serak Dewa masih terdengar memanggil-manggil namaku "Saraaaa.. tunggu aku, jangan tinggalkan aku, Sara jangan pergi" Dewa terdengar putus asa.
"Sara, sayang bangun, kamu kenapa, sayang bangun" tiba-tiba suara serak Dewa berubah menjadi suara berat mas Yohan.
Aku tersentak, terbangun dalam keadaan panik, dadaku sesak, ternyata tadi itu hanya mimpi, mas Yohan kebingungan melihat aku yang berkeringat. "kamu habis mimpi buruk sayang ? kamu nggak apa-apa ? mau minum ? mas Yohan berdiri sigap mengambil air mineral di dapur. Dia membantuku untuk duduk bersandar di bantal yang sudah ia selipkan di belakang punggungku. Aku meneguk air mineral yang diberikan mas Yohan dalam sekali teguk, mas Yohan menyeka keringat di dahiku, lalu menatapku dalam.
"apa mimpimu seburuk itu sayang ?"
"nggak mas, aku bahkan nggak ingat mimpi apa". Aku menyangkal. Mas yohan mengelus pipiku yang basah oleh keringat dan air mata. Ya, air mata penyesalan ku terhadap pengkhianatan yang kulakukan di masa lalu kepada laki-laki yang sangat ku cintai dan sangat mencintaiku, Dewa.
Sudah seminggu aku selalu dihantui mimpi yang sama, seolah tuhan sengaja mengingatkanku tentang kesalahan masa lalu yang pernah kulakukan. Mungkin memang kematianku sudah dekat.
***

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun