Mohon tunggu...
Winda Krisnadefa
Winda Krisnadefa Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

meet me here: www.kampungfiksi.com dan http://emakgaoel.blogspot.com/ grab my new novel: Macaroon Love (Mizan Qanita) in book stores now!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Sebatas Kopi

22 November 2012   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:53 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_225125" align="aligncenter" width="590" caption="(Image from http://www.diylife.com/2007/12/28/21-ways-to-use-old-coffee-grounds/)"][/caption] Langkahku semakin berat memasuki cafe teduh itu. Ini sudah pertemuan yang ke-empat kalinya dan masih belum ada kemajuan yang berarti. Aku masih menemui orang yang sama, masih membicarakan hal yang sama dan masih minum bergelas-gelas kopi yang memberikan efek mual yang sama. Aku sudah bisa membayangkan percakapan yang akan kami hadapi sebentar lagi. “Saya dapat donator baru, Sha! Kamu tahu kan, Pak Doyok, wakil DPRD itu lho!” atau, “Media sudah mau meliput kegiatan kita, kamu tinggal arrange aja waktu dan tempatnya. Usahakan tempatnya yang agak cozy, ya! Pilih panti asuhan yang agak besarlah, yang punya aula,” atau, “Kita bikin seragam aja untuk acaranya nanti, ya! Batik gimana? Tapi aku nggak mau batik kodian, ah! Bahannya panas!” Perempuan setengah baya yang sama sudah menungguku di sana. Dia melambaikan tangannya yang berkuku merah sempurna. Sebuah kursi di sampingnya, khusus untuk meletakkan Birkin-nya. “Minum apa, Sha?” tanyanya setelah melakukan ritual cium pipi kiri dan kananku. “Latte? Frappuccino? Atau cappuccino? By the way, kamu lihat anak kecil dekat mobilku nggak tadi pas masuk ke sini?” Aku menggelengkan kepala. Aku melihat mobilnya yang mentereng di parkiran cafe memang, tapi aku tidak melihat anak kecil yang dia tanyakan. “Nggak, mbak. Kenapa?” tanyaku. Dia mengibaskan rambut berwarna burgundy berkilaunya itu sambil berkata, “Ah, syukurlah. Itu anak tadi nggak mau pergi minta-minta sama aku, nggak aku kasih, eh ngeyel! Kesel aku dibuatnya!” Aku mengangguk. Berusaha keras membaca menu di tanganku. Hmm, kopi apa yang akan kupesan kali ini? Yang harganya 25.000 segelas? Atau sekalian yang 50.000 saja? Entah mengapa hanya rentetan angka rupiah yang terlihat olehku. 25.000 untuk segelas kopi, dan perempuan itu tidak mau mengeluarkan 2.000 perak untuk pengemis tadi? Sebenarnya sedang apa aku dengannya di sini? Aku sedang merancang sebuah acara sosial untuk menyantuni anak yatim dalam skala besar. Perempuan di depanku ini, penyandang dana dan pendiri yayasan. Dia menggandengku untuk menjadikan acara itu sukses, karena aku sering terlibat acara semacam ini. Alih-alih membicarakan tentang kegiatan ini, perempuan menor ini justru sibuk mengatur-atur semua persiapan liputan dan penyambutan para pejabat yang akan datang ke acaranya itu. Ini sudah pertemuan ke-empat! Dan perutku sudah penuh dengan cairan kopi mahal racikan barista ber-apron hitam itu. Belum sekali pun kami membicarakan berapa santunan yang akan diberikan. Atau kemana mereka akan kami sekolahkan. Atau apa yang akan kami lakukan untuk menambah keahlian mereka yang sudah putus sekolah. Atau bagaimana membantu orang tua mereka yang pengangguran. “Sha, minum apa?” Suara perempuan itu terdengar lagi. Aku terhenyak. Harusnya aku tak perlu menunggu sampai pertemuan ke-empat dan memenuhi perutku dengan bergelas-gelas kopi mahal itu. Aku berdiri dari dudukku. “Teh botol, mbak!” jawabku sambil menyeringai. Aku berjalan meninggalkannya. Tak kuhiraukan teriakannya memanggilku. Seorang pengamen kecil berjalan melintas di depanku. Aku menggamit tangannya dan mengajaknya berlari menuju warung di seberang cafe itu. Setengah kebingungan dia mengikuti tarikan tanganku. “Kak? Mau dibawa ke mana aku, kak?” tanyanya ketakutan. “Minum teh botol sama kakak, mau?” Cukup sudah pertemuanku dengan perempuan itu. Pertemuan kosong sebatas kopi. Tak ada makna hanya basa-basi memualkan. “Kamu masih sekolah?” tanyaku membuka pertemuanku dengannya. Aku tahu, pertemuanku kali ini tidak hanya akan menjadi sekedar pertemuan sebatas teh botol saja. (Ditayangkan juga di Blog Emak Gaoel)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun