Mohon tunggu...
Winda Anggraeni
Winda Anggraeni Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

IP 3 *amin, Lulus tepat waktu *amin, psikolog hmm *amin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Termenung (lagi)

13 Mei 2013   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:40 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seperti setengah tahun lalu… kebiasaan ini muncul kembali… dikamar sendirian, duduk selonjoran bersandar bantal empuk di tembok, suasana sunyi, gelapnya kamar dengan diiringi putaran lagu mellow menambah runyamnya pikiran.

Sejak pertengkarang itu, memang sampai saat ini mata sama sekali belum dipejamkan. Entah… sulit tidur atau kepikiran hubungan ini. memang dengannya adalah yang terlama, 13 bulan. Saat emosi ini tak lagi terkontrol, kata break keluar dengan mudah dari mulut. Tanpa memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi selanjutnya.

Hingga saat ini masih bergantung begitu saja status diantara kami. Mungkin masih tapi aku cukup kecewa; mungkin kita udahan tapi belum siap adanya perpisahan. Sejak saat itu ada satu kata yang seolah telah tertanam di pikiran, ‘dia cukup berubah’. Menjadi dingin dan lebih emosian. Saat-saat seperti ini selalu saja ada pertanyaan bercabang tak karuan.

“apakah kesalahan masa lalu itu tetap merubah dia menjadi seperti yang tak dikenal?”

“apakah kita akan meneruskan hubungan ini dengan rasa yang tak lagi sama ataukah akan berakhir hanya sampai disini?”

“jika memang masih bisa dipertahankan. apakah aku mampu terus terima responnya yang dingin seperti ini?”

“jika memang harus berakhir. Apakah aku bisa, aku mampu tegar berdiri sendiri tanpa adanya kehadiran dia lagi di kehidupan?”

“apakah yang dia katakan itu serius?”

“Dulu pernah bilang ‘kalo kamu menjadi batu biar aku yang jadi air disini’ apakah hal itu masih berlaku dengan aadanya perubahan sikapnya sekarang ini?”

“apakah dia sudah cukup siap dan kuat tanpa aku lagi?”

“bisakah kata ‘pasrah’ diandalkan dalam menjalin hubungan tnpa adanya mempertahankan?”

Rasanya tidak cukup rasional jika aku terus merenung diri seperti ini. sepet sekali ya mata ini, terus saja terkuras bila mengingat kenangan dan bayangan-bayangan kedepannya nanti.

Terlintas pikiran yang lalu-lalu tentang begitu tulusnya perempuan menunggu, selalu ada saat laki-laki susah, terlupakan saat laki-laki dengan perempuan lain. Arggh… no no no!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun