Dilema Indonesia Mengentaskan Produsen Rokok dalam Kegiatan Olahraga
Indonesia menghadapi dilema besar dalam mengentaskan para produsen rokok untuk menjadi sponsor utama dalam ajang olahraga di Indonesia. Olahraga yang sejatinya berkaitan erat dengan kesehatan justru sangat kontradiksi dengan bahaya yang mengintai dibalik rokok. Namun bagaimana jika atlet-atlet yang menorehkan prestasi bagi Indonesia di ajang olahraga justru terlahir dari yayasan yang dibentuk oleh perusahaan rokok?
Memang tak bisa di pungkiri bahwa rokok merupakan salah satu produsen yang menyumbang pendapatan kas tersbesar bagi negara. Setiap tahunnya, pemasukan kas negara dari hasil cukai tembakau mencapai triliunan rupiah. Sejak tahun 2007-2016 total pemasukan negara melalui cukai tembakau semakin meningkat. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pendapatan bea cukai tahun 2016 sudah mencapai angka 143,53 triliun. Benar-benar angka yang fantastis ya. Nggak mengherankan kalau pemilik perusahaan rokok masuk jajaran orang terkaya di Indonesia. Wow.
Anak Sebagai Objek Investasi Jangka Panjang Produsen Rokok
Berdasarkan data dari Wikipedia, negara Indonesia masuk peringkat 31 dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia. Mirisnya lagi, para perokok di Indonesia tidak hanya berasal dari kalangan usia dewasa melainkan anak-anak. data Atlas Pengendalian Tembakau di ASEAN mengungkapkan lebih 30% anak Indonesia mulai merokok sebelum usia 10 tahun. Jumlah itu mencapai 20 juta anak. Hal ini harus mendapatkan perhatian mendalam karena anak adalah generasi penerus bangsa yang seharusnya dilindungi dari zat adiktif yang mengancam kesehatan.Â
Salah satu temuan dari Yayasan Lentera Anak di lapangan mengindikasikan dugaan eksploitasi anak dalam kegiatan audisi yang diselenggarakan oeh salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. Audisi yang sejatinya melahirkan atlet-atlet berkualitas ternyata memiliki peran serta dalam menciptakan persepsi postifif pada anak terhadap brand rokok melalui ajang beasiswa bulu tangkis oleh Djarum Foundation.
Selama audisi berlangsung para peserta diwajibkan untuk memakai kaos bertuliskan logo "DJARUM" yang tercetak besar di bagian dada. Belum lagi berbagai atribut lainnya yang terpasang di area audisi yang membuat anak terpapar oleh brand rokok tersebut. Bagaikan teori gunung es yang dikemukakan oleh ahli psikologi dunia, Sigmund freud. Memori manusia bagaikan gunung es yang mampu menyimpan memori yang tak terbatas, paparan iklan rokok secara tidak langsung telah terekam dalam alam bawah sadar dan tinggal menunggu saja kapan memori tersebut akan muncul di kesadaran dan menggerakkan perilaku merokok dikemudian hari.
Peran Djarum dalam olah raga tepuk bulu di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 2006, Djarum mengadakan kegiatan audisi di kota Kudus dengan menargetkan anak remaja berusia 15 tahun sebagai peserta audisi. Seiring waktu audisi diperluas di berbagai kota di Indonesia dengan target peserta dengan rentang usia yang semakin muda, yaitu 6-15 tahun. Ditambah lagi antusiasme peserta audisi yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Di tahun 2018, peserta audisi mencapai angka 5957. Fantastis sekali kan? Bayangkan, 5957 anak terpapar brand rokok selama audisi berlangsung. Belum lagi peserta yang tak lolos audisi bertekat untuk mengikuti kembali audisi pada tahun berikutnya.