Mohon tunggu...
Anicetus Windarto
Anicetus Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Menjadi jujur dalam segala

Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Merdeka di Tengah Pandemi

18 Agustus 2021   11:16 Diperbarui: 18 Agustus 2021   11:27 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukan kebetulan bahwa meski sudah berumur lebih dari 75 tahun, NKRI masih perlu diperjuangkan untuk menjadi bangsa yang 100% bebas dari imajinasi kolonial. 

Hal itu berarti proyek kebangsaan yang telah dimulai sebelum kemerdekaan diproklamasikan, tetap menjadi "bahan bakar" untuk membangun Republik dengan berlandaskan pada cita-cita nasionalis dan semangat revolusioner. Itulah mengapa Bung Karno selalu menggaungkan pesan bahwa "Revolusi belum selesai" meski RI sudah merdeka.

Dalam konteks ini, George McTurnan Kahin pernah memberi catatan menarik dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2013) tentang perjuangan kemerdekaan di Indonesia. 

Buku yang merupakan disertasi doktoralnya di Cornell University, Amerika Serikat, dan diterbitkan pertama kali tahun 1952 dengan jeli memperlihatkan bahwa Revolusi Kemerdekaan di Indonesia dipimpin oleh orang-orang sosialis seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, termasuk para pemimpin Islam nasionalis. 

Dan yang tak kalah penting juga bahwa bukan soal "angkat senjata" atau "diplomasi" yang dipilih sebagai model perjuangan, melainkan lantaran "kebangkitan nasional" ("national awakening") yang keluar dari hati sanubari rakyat yang tidak ingin dijajah kembali. Hal inilah yang membuat perjuangan untuk merdeka dilandasi oleh perlawanan bersama terhadap kolonialisme.

Jadi, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan slogan "merdeka ataoe mati" itu memang bukan sekadar "bahasa kosong yang nyaring bunyinya". 

Tetapi hal itu adalah kerelaan untuk berkorban demi sesama, bukan malah mengorbankan orang lain. Pengorbanan yang dalam bukunya Benedict Anderson berjudul Revoloesi Pemoeda. 

Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988 dan Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018) ditunjukkan sebagai kebangkitan untuk melawan musuh dengan semangat yang sedemikian tinggi. 

Bukan hanya dengan tekad, tetapi juga nekad yang mampu bikin bengong tentara Sekutu. Bayangkan saja, hanya dengan restu dari para kyai, santri-santri yang merasa diri kebal rela untuk mati syahid demi kemerdekaan yang baru tiga bulan atau 90 hari diproklamasikan. Maka tak heran jika pertempuran pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya selalu dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan sampai saat ini.

Perjuangan untuk menjadi merdeka memang adalah sebentuk pengorbanan. Bukan hanya berkorban demi pamrih atau kepentingan sesaat belaka, namun untuk masa depan yang nyaris tidak selalu pasti, apalagi dapat dibayangkan saat ini maupun di masa sebelumnya. 

Terlebih di tengah pandemi ini, ketidakpastian adalah saat dan tempat yang membuat banyak orang mudah gelisah. Sebagaimana dialami oleh Sutan Sjahrir di akhir tahun 1945, dua bulan sesudah pendudukan Jepang di Indonesia berakhir, dan ketika kolonialisme Belanda belum kembali menancapkan kekuasaannya, kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengawali revolusi diistilahkan sebagai gelisah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun