Pajak Royalty menjadi perbincangan hangat ketika Film Hollywood dikabarkan akan memboikot Indonesia karena ditagihnya pajak royalty tersebut.
Sebelum masuk kepada penjelasan apakah pajak royalty tersebut, maka kita mulai dari hal yang paling sederhana dulu, mengapa ada pajak barang masuk (pajak impor) atau yang umum disebut sebagai bea masuk tersebut.
Bea masuk diterapkan utamanya untuk melindungi barang produksi dalam negeri, yang karena perbedaan luas pasar, di mana produksi dalam negeri baru dapat menjual di wilayah Indonesia saja, sementara produk asing, katakanlah produksi dari China, telah melalap pasar seluruh dunia, sehingga dapat menekan biaya produksi.
Dengan adanya bea masuk tersebut sebuah barang, katakanlah piring buatan China akan dijual berharga sama atau sedikit lebih mahal dari piring buatan lokal.
Oleh karena itu, secara kasar kita dapat membuat perhitungan harga barang impor di tangan konsumen sbb:
Biaya produksi + ongkos kirim + bea masuk + PPN + keuntungan pedangang
Sementara untuk barang produksi dalam negeri, harga di tangan konsumen adalah:
Biaya produksi + ongkos kirim lokal + PPN + keuntungan pedangang
Hal di atas terjadi pada perdagangan barang yang nilai fisiknya jelas. Namun selain barang yang memiliki nilai fisik jelas, ada juga barang yang tidak memiliki fisik (intangible) tetapi tetap memiliki harga jual. Nilai fisik barang yang digunakan sebagai media penyimpannya tidaklah menjadi dasar penetapan harga jualnya.
Contoh paling mudah untuk dapat dipahami adalah: Lukisan. Misalnya, sebuah lukisan Affandi akan berharga mahal, tidak perduli apakah lukisan itu dilukis di atas kanvas murahan atau kanvas mahal.
Contoh kedua: Software Windows 7 yang dijual secara legal oleh Microsoft. Harga jualnya tidak akan berubah apakah software itu dicetak di keping CD Maxell atau Verbatim atau keping CD yang lebih murah lagi.