Mohon tunggu...
Winbert Hutahaean
Winbert Hutahaean Mohon Tunggu... Diplomat - Diplomat Indonesia di New Caledonia

Diplomat Indonesia yang sejak 2016 tinggal di New Caledonia. Sebelumnya dari 2009 - 2013 bertugas di Toronto, Canada, dan 2002 - 2006 bertugas di Fiji. Lulusan Sekolah Diplomatik Deplu, angkatan 24 (1998). Meraih gelar Master of Arts (MA) untuk jurusan International Relations dari University of Wollongong, Australia. Lulusan Hubungan Internasional, FISIP dari Universitas Parahyangan, angkatan '89. Masuk Sastra Perancis, Universitas Padjadjaran, angkatan '90. Besar di Bandung, mengikuti pendidikan di SMPN 5, Jl Jawa dan SMAN 5, Jl Belitung Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dalam kaitan film Hollywood, mengapa Pajak Royalty itu perlu?

1 Maret 2011   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak Royalty menjadi perbincangan hangat ketika Film Hollywood dikabarkan akan memboikot Indonesia karena ditagihnya pajak royalty tersebut.

Sebelum masuk kepada penjelasan apakah pajak royalty tersebut, maka kita mulai dari hal yang paling sederhana dulu, mengapa ada pajak barang masuk (pajak impor) atau yang umum disebut sebagai  bea masuk tersebut.

Bea masuk diterapkan utamanya untuk melindungi barang produksi dalam negeri, yang karena perbedaan luas pasar, di mana produksi dalam negeri baru dapat menjual di wilayah Indonesia saja, sementara produk asing, katakanlah produksi dari China, telah melalap pasar seluruh dunia, sehingga dapat menekan biaya produksi.

Dengan adanya bea masuk tersebut sebuah barang, katakanlah piring buatan China akan dijual berharga sama atau sedikit lebih mahal dari piring buatan lokal.

Oleh karena itu, secara  kasar kita dapat membuat perhitungan harga barang impor di tangan konsumen sbb:

Biaya produksi + ongkos kirim + bea masuk + PPN + keuntungan pedangang

Sementara untuk barang produksi dalam negeri, harga di tangan konsumen adalah:

Biaya produksi + ongkos kirim lokal + PPN + keuntungan pedangang

Hal di atas terjadi pada perdagangan barang yang nilai fisiknya jelas. Namun selain barang yang memiliki nilai fisik jelas, ada juga barang yang tidak memiliki fisik (intangible) tetapi tetap memiliki harga jual. Nilai fisik barang yang digunakan sebagai media penyimpannya tidaklah menjadi dasar penetapan harga jualnya.

Contoh paling mudah untuk dapat dipahami adalah: Lukisan. Misalnya, sebuah lukisan Affandi akan berharga mahal, tidak perduli apakah lukisan itu dilukis di atas kanvas murahan atau kanvas mahal.

Contoh kedua: Software Windows 7 yang dijual secara legal oleh Microsoft. Harga jualnya tidak akan berubah apakah software itu dicetak di keping CD Maxell atau Verbatim atau keping CD yang lebih murah lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun