Mohon tunggu...
Winayatun Azizah
Winayatun Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

La Tahzan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Khawarij; Sejarah dan Perkembangannya

3 November 2024   19:31 Diperbarui: 3 November 2024   19:31 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Definisi

Secara etimologi, kata "khawarij" berasal dari bahasa Arab "kharaja," yang berarti keluar, muncul, atau memberontak. Oleh karena itu, khawarij merujuk pada setiap Muslim yang ingin memisahkan diri dari kesatuan umat Islam. Dalam terminologi ilmu kalam, khawarij adalah kelompok yang mengikuti Ali bin Abi Thalib, yang meninggalkan barisan karena tidak setuju dengan keputusan Ali untuk menerima arbitrase (tahkim) dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/657 M, yang terjadi antara kelompok bughat (pemberontak) yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan terkait perselisihan khilafah.

Harun Nasution juga mencatat bahwa nama "Khawarij" berasal dari kata "kharaja," yang berarti keluar. Dengan demikian, kaum Khawarij melihat diri mereka sebagai orang-orang yang meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga sering menyebut diri mereka sebagai kaum Syurah, yang berarti kelompok yang mengorbankan diri demi meraih keridhaan Allah. Mereka juga sering disebut Haruriyah, yang berasal dari kata "Harura," nama sebuah desa dekat Kufa di Irak. Di sinilah mereka berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali, dengan jumlah mencapai dua belas ribu orang, dan memilih Abdullah Ibn Wahab al-Rasid sebagai imam menggantikan Ali Ibn Abi Thalib.

Asal-Usul Kelompok Khawarij

Peristiwa tahkim berlangsung selama Perang Siffin pada tahun 37 H, di kota Shiffin dekat sungai Eufrat, antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Ketika Muawiyah menyadari kemungkinan kekalahan dalam pertempuran tersebut, ia memerintahkan pasukannya untuk mengangkat kitab-kitab Al-Qur’an di ujung tombak sambil berteriak agar persoalan di antara mereka diserahkan kepada kitab Allah. Amr bin Ash juga menyarankan agar pasukan Muawiyah di garis depan mengikatkan mushaf Al-Qur’an ke ujung tombak sebagai simbol bahwa perang harus dihentikan dan diadakan perundingan berdasarkan hukum Al-Qur’an.

Ali bin Abi Thalib menyadari bahwa tindakan itu adalah tipu muslihat dan permainan politik dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Menyaksikan hal tersebut, banyak pengikut Ali, terutama para qurra’, terpedaya dan berkata, "Kita dipanggil untuk mengikuti Kitab Allah. Kita harus memenuhi panggilan itu!" Namun, Ali segera memperingatkan, "Ucapan itu benar, tetapi tujuannya salah. Mereka mengangkat Al-Qur'an bukan untuk kembali kepada hukumnya; itu hanya sebuah strategi karena posisi mereka yang lemah, dan merupakan perangkap bagi kalian. Beri aku waktu sebentar untuk mengatasi ini."

Perbedaan pendapat ini menyebabkan ketidakserasian di kalangan pengikut Ali bin Abi Thalib, antara mereka yang ingin melanjutkan pertempuran dan yang setuju untuk melakukan tahkim.
Pertempuran pun dihentikan, dan mereka mulai membahas perundingan. Ali bin Abi Thalib segera mengirim utusan kepada Muawiyah untuk meminta penjelasan mengenai rencananya. Muawiyah kemudian mengusulkan agar ada dua penengah yang netral mewakili masing-masing pihak. Muawiyah memilih Amr bin Ash sebagai wakilnya, sementara Ali memilih Abu Musa Al-Asy'ari. Ali bin Abi Thalib awalnya berencana mencalonkan Abdullah bin Abbas karena kemampuannya menghadapi Amr bin Ash. Namun, teman-teman dan pengikutnya dari Irak (para qurra’) menolak pilihan tersebut, menganggap Abdullah terlalu keras dan khawatir tidak dapat mencapai perdamaian.

Mereka menginginkan sosok yang lebih lunak agar proses perdamaian bisa tercapai dengan lebih mudah. Upaya tahkim berakhir dengan keputusan yang menurunkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah dan mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai penggantinya. Strategi politik Amr bin Ash berhasil mengacaukan barisan Ali, menyebabkan perpecahan di antara pengikutnya. Sebagian dari pasukan Ali kemudian memisahkan diri ke Harura, yang kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Setelah kesepakatan tahkim, Ali bin Abi Thalib meninggalkan Shiffin dan kembali ke Kufah, sementara orang-orang yang memisahkan diri (Khawarij) mengambil jalan lain. Mereka kemudian memutuskan untuk menetap di tepi sungai di tempat yang disebut Harura.

Ciri – ciri Kaum Khawarij
1. Mereka cenderung dengan mudah mengkafirkan orang yang tidak sejalan dengan mereka, meskipun orang tersebut adalah seorang Muslim.  
2. Menurut mereka, hanya Islam yang mereka pahami dan amalkan yang dianggap benar; pemahaman dan praktik Islam oleh golongan lain dianggap salah.  
3. Mereka percaya bahwa orang-orang Islam yang dianggap tersesat dan kafir perlu dikembalikan ke Islam yang mereka anggap benar.  
4. Karena mereka menganggap pemerintahan dan ulama yang tidak sejalan dengan mereka sesat, mereka memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri, baik sebagai pemuka agama maupun pemimpin pemerintahan.  
5. Mereka bersikap fanatik terhadap keyakinan mereka dan tidak ragu untuk menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuan.

Sekte - Sekte Khawarij

Kaum Al-Muhakimmah
Merupakan kelompok pertama yang muncul dari pengikut Ali bin Abi Thalib setelah Perang Shiffin. Mereka berkumpul di Harurah untuk mempersiapkan pemberontakan terhadap Ali. Nama mereka diambil dari prinsip "la hukma illa Allah," yang menegaskan keyakinan bahwa hanya hukum Allah yang sah, sesuai dengan ajaran Alquran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun