MEMBINGUNGKAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membingungkan. Kita layak mempertanyakan komitmen Ketua Umum Partai Demokrat itu, terhadap demokratisasi dan keberlanjutan era reformasi. Langkah walk out Fraksi Demokrat DPR RI dalam Rapat Paripurna, yang berakhir Jumat (26/9) dini hari, seperti memupus segala pencitraan Presiden SBY yang cinta rakyat. Siapa yang masih percaya SBY reformis?
Kita tahu, keluarnya Fraksi Demokrat yang dipimpin Nurhayati Ali Assegaf dari ruang sidang di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta itu, jelas menjadi andil terbesar bagi kemenangan Koalisi Merah Putih.
Kubu yang dimotori Partai Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS itu menang dalam voting pengesahan UU Pilkada, yang memilih kepala daerah melalui DPRD. Itu berarti kelak, gubernur, bupati dan walikota tak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti telah berjalan sejak 2005.
Akal sehat kita sukar memercayai jika tindakan Fraksi Demokrat itu, tanpa sepengetahuan SBY. Apalagi, Juru Bicara Demokrat Ruhut Sitompul mengaku ikut WO karena telah mendapat kepastian dari Wakil Ketua Umum Demokrat Max Sopacua bahwa langkah itu atas perintah SBY.
Tetapi, kepada pers di Washington DC, Kamis (25/9) malam waktu setempat atau Jumat (26/9) pagi Waktu Indonesia Barat, SBY mengaku kecewa atas hasil rapat paripurna itu. Malah, Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu, Â berencana menggugat hasil voting RUU pilkada yang mengesahkan pilkada lewat DPRD itu. "Dengan hasil ini, saya sampaikan ke rakyat Indonesia, Partai Demokrat rencanakan mengajukan gugatan hukum, dipertimbangkan mana yang tepat, ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi."
Anehnya, tidak ada perintah tegas untuk menindak pembangkangan yang dilakukan Fraksi Demokrat itu, kalau benar SBY kecewa. Karena itu, berarti Nurhayati-Benny K Harman dan lainnya, tak mematuhi petunjuk SBY agar memilih opsi Pilkada secara langsung.
Karena itulah, kita patut mempertanyakan kredibilitas SBY dalam memperjuangkan pemilihan umum kepala daerah secara langsung. Kita mengamini pernyataan para petinggi PDI Perjuangan yang menganggap SBY hanya lips service ketika berpidato soal pilkada langsung.
Pernyataan SBY yang diunggah di youtube, Minggu (14/9) malam, jelas sekali pilihannya pada pilkada oleh rakyat secara langsung itu. Malah, perintah itu diulang oleh Ketua Harian Demokrat Syarief Hasan. Kata Menteri Koperasi dan UKM itu, pilihan Demokrat, pilkada langsung.
Kalau akhirnya kadernya di DPR (minus enam orang, antara lain I Gede Pasek Suardika, Hayono Isman, Ignatius Mulyono) memilih WO dan membuka peluang menangnya opsi pilkada lewat DPRD, semua itu menunjukkan ketidakkonsistenan. Katanya akan bersama rakyat, nyatanya, nol besar.
Bisa juga SBY, yang 20 Oktober 2014 akan mengakhiri jabatan Presiden RI periode kedua (2004-2009 dan 2009-2014), telah kehilangan tuah, sampai perintahnya tak dijalankan para kadernya di DPR. Bayangkan, dengan berani, Nurhayati Ali Assegaf memimpin rekan-rekannya meninggalkan ruang sidang. Kalau benar tak ada perintah, artinya telah terjadi pembangkangan secara nyata.
Sejarah hitam