ALIH-alih meraup simpati, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, kini justru ditinggalkan sebagian besar pendukungnya. Itu yang terbaca dari hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network, yang dirilis, di Jakarta, Kamis (7/8). Survei lembaga besutan Denny JA itu, menunjukkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Hatta menurun pasca keputusan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). LSI menemukan adanya perubahan dukungan signifikan di antara para simpatisan peserta Pilpres 2014 tersebut. "Saat ditanyakan kepada responden pendukung Prabowo, sebagian besar dari mereka beralih mendukung Jokowi-JK jika ada pemungutan suara lagi," kata peneliti LSI, Ade Mulyana, di kantornya, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (7/8), seperti dikutip dari Kompas.com. Hasil survei terbaru LSI itu, menunjukkan, suara Prabowo-Hatta turun sekitar 12 persen. Sebelumnya, Selasa (22/7), Ketua KPU Husni Kamil Manik bersama komisioner KPU lainnya, mengumumkan rekapitulasi suara menunjukkan pasangan nomor urut satu itu memperoleh 46,85 persen. Tapi, kini dalam survei LSI itu, pasangan yang diusung Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB dan Golkar itu, hanya mengumpulkan suara 34,75%. Ade Mulyana mencatat, setidaknya ada 2 hal yang menyebabkan pendukung Prabowo-Hatta 'pindah ke lain hati'. Pertama, mudahnya mereka berpaling karena, karakter pemilih Prabowo-Hatta adalah pemilih ragu-ragu dan lebih mudah mengubah pilihannya. Ade mengatakan, mayoritas pemilih Prabowo-Hatta masyarakat kota yang berpendidikan tinggi. Mereka juga percaya dengan hasil penghitungan KPU. "Survei LSI menunjukkan, 67,49% publik percaya hasil resmi KPU." Kedua, pamor Prabowo turun dipengaruhi oleh sikapnya yang ngototan. Publik mencatat, pensiunan jenderal berbintang tiga itu, tidak legowo pada putusan KPU yang telah memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dengan tidak menerima keputusan KPU, banyak publik kecewa. Sikap Prabowo yang bak banteng ketaton, maju terus tak mau kalah, dinilai kurang simpatik. Survei ini untuk melihat pandangan dan persepsi publik seusai penetapan hasil pemilihan presiden pada 22 Juli lalu. LSI mengumpulkan data dalam rentang 4-6 Agustus 2014. Jumlah responden 1.200 orang, tersebar di 33 provinsi. Hasil survei menyatakan dukungan publik kepada Jokowi-JK lebih besar saat ini, 65,25 persen responden. Prabowo-Hatta hanya 34.75 persen suara. Margin of error riset ini kurang-lebih 2,9 persen. Itu berarti, jika Pilpres diadakan saat ini, kemenangan besar akan tercatat untuk Jokowi-JK. Sesuai pengumuman KPU, 22 Juli 2014, jumlah total perolehan suara Prabowo-Hatta 62.576.444 (46,85%). Jokowi-JK, sejumlah 70.997.83370.997.833 atau 53,15%. Selisihnya lebih dari 8,4 juta suara. Pamor turun LSI mencatat, pamor Prabowo Subianto turun. Penurunan itu terjadi, sebagai kritik atas sikap tidak simpatik kubu Prabowo. Itu sudah dimulai ketika mantan Danjen Kopassus itu menarik diri di tengah proses rekapitulasi suara Pilpres 2014 hasil resmi KPU. Penarikan diri Prabowo dari kepesertaan Pilpres itu, dalam pandangan publik, kata Ade Mulyana, menandakan kubu Prabowo tidak menghormati KPU, rakyat, dan hasil pemilu. Itu tidak sejalan dengan janji Prabowo untuk siap menang sekaligus siap kalah. "Padahal, sebelumnya Prabowo sesumbar siap terima apa pun yang diputuskan KPU." Kekecewaan mereka makin besar saja ketika melihat kubu koalisi Merah Putih, terutama Prabowo, yang merayakan kemenangan berdasarkan hasil quick count lembaga survei abal-abal, beberapa jam setelah pencoblosan Pilpres, 9 Juli lalu. Kita mencatat, bagaimana sang pensiunan jenderal itu, secara demonstratif melakukan sujud syukur, diikuti sejumlah pemimpin partai koalisi dan pendukungnya. Dalam persfektif Islam, sujud syukur dilakukan sebagai tanda sukacita atas berita gembira, semacam kemenangan dalam pertandingan, atau kelulusan. Pamornya makin suram saja, setelah Prabowo membandingkan pemilu di Tanah Air, seperti di negara-negara totaliter, fasis dan komunis. Itu yang diungkapkan Prabowo Subianto dalam persidangan. Ketika itu, ia menyebutkan, ada TPS yang mencatat perolehan suaranya 0. Ia tidak percaya, karena didukung sejumlah partai besar, yang mencatat lebih dari 60 persen suara DPR. Gugatan lemah Belakangan, pengunduran diri dari segala proses Pilpres 2014 itu, dianulir sendiri oleh kubu Prabowo-Hatta. Melalui juru bicara tim pemenangan kubu nomor urut 1 itu, Tantowi Yahya ralat diberikan. Yang sebenarnya, kata politisi Partai Golkar itu, Prabowo-Hatta hanya mundur dari proses rekapitulasi suara nasional, karena menganggap KPU tidak netral dan pilpres berlangsung penuh kecurangan. Setelah itu, kubu Prabowo-Hatta mendaftarkan gugatan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi, 25 Juli 2014. Malah, Majelis hakim MK sudah menggelar sidang perdana, Rabu (6/8). Meski sejak awal sejumlah pengamat menilai gugatan tim Prabowo-Hatta yang antara lain diperkuat Eggy Sudjana dan Maqdir Ismail itu, lemah dan tidak bakalan dikabulkan MK, mereka jalan terus.
(http://politik.kompasiana.com/2014/07/31/gugatan-sia-sia-prabowo-hatta-670911.html).
Pakar hukum tata negara Refly Harun, termasuk yang melihat banyak keanehan dalam gugatan PHPU Prabowo-Hatta itu. Yang tak bisa disepelekan, banyaknya salah ketik dalam berkas gugatan itu. Meski Tim Prabowo-Hatta menganggap kesalahan itu, manusiawi, karena keterbatasan waktu, bagi bekas wartawan ini, kesalahan ketik sekelas permohonan terkait Pilpres 2014 menunjukkan ketidakprofesionalan. Walau begitu, ia setuju kesalahan ketik tak menjadi masalah substansial. Sejumlah hakim MK, termasuk ketua Hamdan Zoelva, sempat mempertanyakan keakuratan gugatan yang diajukan tim hukum Prabowo. Antara lain menyangkut, tidak sinkronnya antara posita (dalil permohonan) dengan petitum (tuntutan yang dimintakan kepada hakim). Bagian posita kata Hamdan Zoelva, begitu meluas, tidak sinkron dengan petitum. Lainnya, soal tudingan adanya indikasi money politics dalam proses pemungutan suara. Hakim Aswanto melihat, indikasi itu tidak sinkron dengan yang diminta dalam petitum. Kubu Prabowo juga menuding terjadi "pengkondisian hasil penghitungan suara di Jombang dan Kediri”. Masih kata hakim Aswanto, ini pun tidak diuraikan dengan jelas. "Pengkondisian itu seperti apa, sehingga (hakim) tidak kesulitan dengan apa yang Saudara maksud." Hakim Patrialis Akbar menyoroti, penggunaan kata-kata dalam gugatan kubu Prabowo-Hatta: "terstruktur, sistematis, dan masif" untuk menjelaskan kecurangan di sejumlah TPS dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. "Tolong jelaskan terstruktur, sistematis, dan masif itu seperti apa, sehingga nanti bisa masuk dalam gugatan" ujar hakim Patrialis Akbar. Dengan berbagai kelemahan itu, pakar hukum tata negara Saldi Isra, seperti juga Refly Harun, berani mengatakan, sulit bagi majelis hakim MK untuk memenuhi tuntutan tersebut. Itu berarti Kubu Prabowo-Hatta bakal gigit jari, alias kalah. Dan akhirnya, kita akan melihat pemimpin baru Republik Indonesia 2014-2019, Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla. Call Send SMS Add to Skype
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H