Mohon tunggu...
Win Winarto
Win Winarto Mohon Tunggu... -

Berusaha untuk selalu bermanfaat dengan menjadi pemerhati politik, ekonomi dan perbankan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jokowi-JK Berhentilah Berharap Tambahan Dukungan

30 Agustus 2014   05:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:07 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Pasangan Capres-Cawapres terpilih, Jokowi-JK tengah gowes dengan mengenakan kemeja putih. (KOMPAS.com)"][/caption]

KOALISI Merah Putih harus terus kompak. Partai politik pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 itu, perlu dipertahankan sampai ke DPR RI periode 2014-2019, hingga akhir jabatan Presiden dan Wapres terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, kelak. Biarlah Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, Golkar dan PBB tetap kompak untuk menjadi pemerintahan Jokowi-JK. Dengan begitu, kita berharap terjadi kontrol efektif atas jalannya pemerintahan yang disokong PDI Perjuangan, NasDem, PKB, Hanura dan PKP Indonesia. Dengan semangat itu, agak mengherankan melihat adanya upaya untuk memecah kekompakan parpol pengusung Prabowo-Hatta itu. Sukar dimengerti pernyataan kubu Jokowi-JK, bahkan oleh Jokowi, yang mengumumkan satu-dua-tiga anggota Koalisi Merah Putih bakal merapat ke Jokowi-JK. Buat apa mereka mengeluarkan statemen seperti itu. Apalagi, karena akhirnya selalu muncul bantahan, termasuk terhadap pernyataan Jokowi. Tidak kalah mengherankan pernyataan segelintir politisi Partai Golkar, yang sejak jauh-hari terlihat berharap banyak segera masuk kubu Jokowi-JK. Sama mengherankannya statemen sebagian politisi PPP, juga parpol lainnya, yang mengisyaratkan siap bergabung dalam gerbong yang dimotori PDIP-NasDem tersebut. Yang juga tak bisa dimengerti, sejumlah pengamat tak kalah getolnya memprediksi bakal adanya parpol pendukung Prabowo-Hatta, berpaling ke Jokowi-JK. Misalnya, pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro, Kamis (28/8), menyebutkan, dari enam anggota Koalisi Merah Putih, PPP berpeluang besar bergabung mendukung Jokowi-JK. Sebelumnya, ia memasukkan Partai Demokrat, selain PPP, yang bakal masuk dalam gerbong PDIP dan kawan-kawan itu. Tetapi, berkali-kali pula petinggi parpol pemenang Pemilu 2009 itu, membantahnya. Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan, misalnya, memastikan, partainya akan menjadi penyeimbang. Intinya, partai pengusung utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, tidak akan masuk kubu Prabowo-Hatta juga Jokowi-JK. Siapa yang berkomitmen pada kepentingan rakyat, akan mendapat dukungan Demokrat. Kekuatan parlemen Masuk akal jika kubu Jokowi-JK berharap kekompakan parpol pendukung Prabowo-Hatta pecah, setidaknya, satu-dua atau malah tiga partai berpaling. Pasalnya, dengan komposisi enam parpol saat ini, Kubu Prabowo-Hatta bakal menguasai parlemen. Hasil Pemilu legislatif, 9 April 2014, menunjukkan, dari 560 kursi DPR RI, Koalisi Merah Putih --Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP (dan PBB tidak lolos ambang batas parlemen)-- menguasai 292 kursi. Bandingkan dengan Jokowi-JK, yang diperkuat PDIP, NasDem, PKB, Hanura (dan PKPI  tak lolos ambang batas parlemen 3,5 persen), hanya 207 kursi. Partai Demokrat dengan 61 kursi, tentu saja jadi daya tarik tersendiri. Kalau saja partai berlambang bintang segitiga mercy itu, berhasil digaet, kubu Jokowi-JK akan memiliki 268 kursi. Bisa dipahami kalau ada ketakutan, dengan kekuatan lebih dari 52% di parlemen, Gerindra Cs bakal menjadi batu sandungan pemerintah Jokowi JK, yang hanya disokong hampir 40% kursi di DPR. Bisa saja berbagai program Presiden (terpilih) Joko Widodo akan menjadi bulan-bulanan para politisi pendukung Prabowo-Hatta di Senayan, nanti. Padahal, hitung-hitungan matematika dan politik, jelas berbeda. Kekuatan di parlemen bukan jaminan, segalanya bakal berjalan lancar tanpa hambatan. Kabinet Presiden SBY-Wapres Boediono (2009-2014), bisa jadi bukti sahih. Sektariat Gabungan yang menampung mayoritas kekuatan parlemen pendukung SBY-Boediono, ternyata rapuh. Nyaris tidak ada kebijakan pemerintah kabinet Indonesia Bersatu II ini, yang berjalan tanpa dibombardir oleh para politisi parpol koalisi. Malah, para politisi partai pendukung SBY-Boediono yang terkadang bersuara paling keras mengkritik pemerintahan. Pintu pemakzulan Jadi, buat apa Jokowi-JK berharap ada penambahan kekuatan, di luar partai pendukung yang sejak awal, sebelum Pilpres 2014, dikukuhkan dan berjalan bersama-sama. Tidak perlu berupaya menarik-narik kekuatan parpol dari Koalisi Merah Putih. Kalau ada yang ikhlas bergabung,  tidak apa-apa. Silahkan buka pintu lebar-lebar. Persoalannya, adakah parpol yang bersedia bergabung dalam koalisi, tanpa syarat, seperti diminta Jokowi, jauh-jauh hari? Jawabannya, tidak ada. Mereka pasti berharap ada imbalan. Kalau tidak dapat kursi di kabinet, pasti ada permintaan lainnya. Bisa saja, meminta jatah untuk memasukkan kadernya dalam posisi-posisi penting dalam pemerintahan, atau permintaan aneh-aneh lainnya. Sebelum itu terjadi, biarkanlah pemerintahan Jokowi-JK dengan kekuatan 40 persen menghadapi 52 persen Kubu Prabowo-Hatta di parlemen. Dengan sistem presidensial, tidak gampang memakzulkan Presiden, tanpa alasan kuat. DPR dan Presiden tidak mungkin saling menjatuhkan. Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A. Intinya, terbukti melanggar hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Jelas sekali, dalam UUD 1945 sekarang ini kedudukan presiden secara politik sangatlah kuat. Pintu pemakzulan () ada, tetapi untuk sampai ke situ, jalannya sangat panjang dan berliku. Untuk masuk ke situ, berat, karena pintunya pun, sangat-sangat kecil. Berbeda dengan sebelum ada amendemen UUD 1945, proses pemakzulan sepenuhnya politis dan itu hanya berjalan dalam dua lembaga politik. Yaitu, DPR (jika DPR menduga presiden melanggar GBHN). Lalu, MPR melalui Sidang Istimewa. Kalau pengajuan RAPBN dijegal, pemerintah bisa menggunakan anggaran sebelumnya. Itu artinya, pemerintah tetap bisa menjalankan segala programnya, meski tidak bisa berkreasi lebih jauh, karena tidak ada program baru. Tetapi, secara umum pemerintahaan dengan dukungan anggaran tetap bisa berjalan, meski memakai UU APBN sebelumnya. Malah, seperti kata Jusuf Kalla, kalau DPR macam-macam, pemerintah bisa tidak menyetujui anggaran untuk pembayaran gaji dan tunjangan mereka. Dengan begitu, parlemen bakal tidak bisa bekerja efektif, karena tanpa dukungan dana. Kalau masih bandel juga, Jokowi-JK bisa berbicara kepada masyarakat. Laporkan kepada masyarakat, pemerintah tidak bisa sepenuhnya menjalankan program kerakyatan, karena tak mendapat dukungan parlemen. Ingat, rakyat sebagai pemilik suara akan menjadi wasit yang adil bagi perseteruan eksekutif-legislatif. Jadi, Jokowi-JK, berhenti berharap mendapat dukungan tambahan dari para politisi dari Kubu Prabowo-Hatta. Kalau ada yang datang sendiri, tidak apa-apa ditampung. Kalau tidak ada, jalan saja dengan kekuatan yang hampir 40% di parlemen itu. Rakyat menunggu Jokowi-JK merealisir seluruh janji kampanyenya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun