MEGAWATI Soekarnoputri perlu lebih memperbaiki komunikasi politiknya. Bukan apa-apa. Kekalahan beruntun kubu Koalisi Indonesia Hebat, pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla di DPR RI, diyakini turut disumbangkan oleh gaya Ketua Umum PDI Perjuangan tersebut.
Sejak lama Mega dikritik karena cenderung kaku. Mantan Presiden itu dianggap lamban, tidak cepat merespon perkembangan politik yang ada. Padahal, situasi politik terkadang bergerak cepat dan berubah, tanpa bisa ditebak arahnya. Akibatnya, Mega dan PDIP cenderung terlambat, karena tidak bisa mengantisipasi keadaan.
Akibatnya, dalam catatan pengamat politik Heri Budianto, Kamis (2/10), Koalisi Indonesia Hebat, yang dimotori PDIP, NasDem, PKB dan Hanura, sudah empat kali kalah di DPR RI. Penyebabnya, koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK tersebut lamban dalam merespons sinyal dan dinamika politik yang berkembang di parlemen. "Ini kegagalan koalisi yang dipimpin PDIP dalam merespon sinyal-sinyal politik sejak sebelum Pilpres 2014 sampai setidaknya hari ini."
Empat kekalahan yang dimaksud Heri Budianto itu, berlakunya UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, yang menganulir klausul pemenang pemilu legislatif berhak atas kursi DPR RI. Kita tahu, upaya PDIP dan Megawati Soekarnoputri melawan keputusan DPR 2009-2014 di akhir masa jabatannya itu, tidak berhasil.
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review, yang diajukan PDIP dan Megawati. Karena itu, kader PDIP kehilangan kesempatan menduduki kursi ketua Dewan yang ditinggalkan kader Partai Demokrat Marzuki Alie. Hasil sidang paripurna DPR, Kamis (2/10) dini hari, menempatkan paket politisi dari Koalisi Merah Putih, dimotori, Gerindra, Golkar, PPP, PKS, PAN (dan Partai Demokrat), menguasai kursi pimpinan DPR RI 2014-2019. Ketua DPR diduduki kader Golkar Setya Novanto.
Paket pimpinan DPR itu termasuk kemenangan Koalisi Prabowo Subianto. Lainnya, putusan soal tatib DPR dan berlakunya UU Pilkada, yang mengharuskan pemilihan kepala daerah melalui DPR. Kelak, penentuan Gubernur, Bupati dan Walikota tak lagi melalui pilihan langsung oleh rakyat, seperti yang berlaku sejak 2005.
Kegagalan beruntun itu sebenarnya bisa diantisipasi secara lebih baik oleh Kubu Indonesia Hebat. Terutama oleh PDIP dan Megawati sebagai lokomotif pendukung Jokowi-JK. Heri menggambarkan semua itu bukanlah peristiwa politik yang tiba-tiba muncul. "Itu semua kronologi politik yang sudah berjalan sejak lama."
Seharusnya, Â Megawati Soekarnoputri sejak dulu membuka ruang komunikasi politik pada elit parpol yang sekarang ada di kubu Koalisi Merah Putih. Termasuk menjalin komunikasi lebih baik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika itu yang terjadi, Heri Budianto yakin cerita di parlemen, termasuk pemilihan Ketua DPR, dan sebelumnya UU Pilkada, akan lain hasilnya.
Sudah terlambat
Sekarang, terlambat sudah. Bubur sudah menjadi kerak. Kubu PDIP, antara lain lewat bekas Sekjen Pramono Anung Wibowo dan juga Ketua Puan Maharani, Kamis (2/10), menyebutkan, Megawati sebenarnya juga bersedia bertemu dan berkomunikasi dengan Presiden SBY, yang juga Ketua Umum Partai Demokrat.
Sejak Rabu (1/10) malam, Mega sudah meminta Jokowi-JK, Puan dan juga  Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh untuk bertemu SBY. Malah, Jokowi mengaku diminta berbicara kepada SBY, yang intinya Mega bersedia bertemu. Tetapi, sampai lahirnya keputusan rapat paripurna DPR, SBY tak bisa dihubungi. Padahal, hampir seluruh jalur sudah dicoba.