Mohon tunggu...
Winarto -
Winarto - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

noord oost zuid west, thuis best.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sketsa Jakarta: Bertahan dan Menikmati Ibukota

19 Juni 2012   11:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Awal-awal datang di Jakarta, bersama teman-teman International Fellowships Program jalan-jalan di Kota Tua"][/caption]

Smartphone dicopet, dipaksa beli tiket oleh preman, tapi lebih banyak kenangan indah yang tertinggal di Jakarta.

Tanggal 18 September 2010, untuk kali kedua, saya menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Tujuan saya datang ke Jakarta waktu itu berbeda dengan kedatangan pertama di Ibukota. Jika di bulan November 2007 saya hanya berada di Jakarta selama 3 hari untuk mengikuti sebuah konferensi di PPM-Manajemen, namun sejak bulan September 2010 hingga April 2011, saya akan mengikuti kegiatan Pre-Academic Training di Lembaga Bahasa Internasional, UI Salemba.

Kegiatan utama saya sehari-hari adalah belajar dari hari Senin hingga Jumat mulai pagi hingga sore. Saya sengaja memilih tempat tinggal yang tidak jauh dari UI Salemba, yaitu di Salemba Bluntas. Saya sudah phobia dengan cerita dari beberapa teman tentang Jakarta, terutama kemacetan di jalan raya pada saat jam-jam sibuk. Pertimbangan memilih tempat tinggal di Salemba Bluntas, selain dekat dan tidak membutuhkan transportasi, di sana juga tersedia beragam warung yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Menjalani kehidupan di Jakarta, selain aktivitas belajar, memang penuh banyak cerita. Diharuskan masuk kelas jam 08.00, saya biasanya sudah keluar dari kamar kost sekitar jam 07.00 dan menuju ke sebuah warteg untuk sarapan. Selesai sarapan, saya berjalan kaki menerobos aktivitas manusia yang lalu-lalang di seputaran Salemba. Kemacetan yang sering hanya saya dengar kini bisa saya lihat secara langsung. Dari atas Halte TransJakarta UI Salemba, saya biasa memandangi jalanan yang dipadati mobil dan kendaraan ditemani kepulan asap yang bisa bikin sesak dan teriakan-teriakan klakson.

Hidup di Jakarta itu harus sabar, tabah dan kuat. Setiap kali melintas di beberapa sudut kota, saya sering melihat pengemis yang membawa anak kecil atau seorang laki-laki tua yang buta. Saya paling tidak tega ketika setiap hari melihat mereka duduk di tepi jalan atau bahkan tidur di jembatan busway. Untuk itulah, saya selalu menyimpan uang-uang receh di dalam tas dan memberikan kepada para pengemis. Saya senang melakukannya. Bahkan, ketika handphone saya dicopet di bus TransJakarta, setelah sempat shock sejenak dan kemudian mengamankan data-data penting, saya bergumam bahwa pencopet itu sedang butuh uang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Ya, mau bagaimana lagi? Diiklaskan saja. Saya tidak bisa berharap banyak ketika smartphone itu sudah dicopet.

Setelah kecopetan itu, saya belajar untuk tetap waspada dan berjaga. Kemanapun pergi, saya lebih berhati-hati dalam menjaga barang-barang berharga. Tetapi, mungkin karena tampang saya yang polos dan mudah untuk diperdayai, sekali lagi saya harus masuk ke sebuah jerat yang dipasang oleh para preman di sebuah terminal bus di Jakarta. Jadi, saya hendak membeli sebuah tiket ke Solo. Seorang pria mendekati dan bertanya tujuan. Saya menjawab Solo. Seketika itu juga, saya langsung ditarik dan dipaksa untuk membeli tiket di sebuah loket. Ketika saya hendak pergi karena harganya tidak cocok, di belakang saya sudah berdiri beberapa orang yang mendorong saya dan menyuruh supaya segera membayar. Yah, mau bagaimana lagi? Saya ikhlas mengeluarkan uang 150 ribu untuk membayar tiket itu. Dengan keiklasan, rejeki saya akan lebih banyak, pikir saya.

Di balik cerita-cerita di atas, datang ke Jakarta juga memberikan banyak pengalaman baru yang menyenangkan. Semula saya hanya bisa melihat bus-bus TransJakarta yang lalu-lalang hanya di layar televisi, tetapi ketika baru beberapa hari datang, saya begitu senang sekali naik bus TransJakarta. Dengan hanya membayar Rp 3.500, saya bersama teman-teman dari International Fellowships Program bisa berkeliling Jakarta dan mengunjungi tempat-tempat seperti Museum Wayang, Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri atau Monas.

Pada masa-masa itu juga, pengalaman pertama kali saya naik bajaj yang kata orang hanya Tuhan dan sopir bajaj saja yang tahu kapan bajaj itu berbelok. Film komedi Bajaj Bajuri dan cerita dari beberapa teman mengenai keistimewaan naik bajaj ketika seluruh badan bergoyang dan bergetar,suara mesin yang berbunyi othok...othok..othok, membuat saya penasaran naik angkutan itu. Selain bajaj, saya juga ingin mencoba naik bemo dan akhirnya, keinginan itu terwujud. Keinginan itu harap dimaklumi sebab  baik bajaj, bemo atau Transjakarta, waktu itu belum ada di daerah asal saya.

Selama beberapa bulan di Jakarta, saya begitu menikmati berbagai acara yang semula hanya saya bisa tonton di televisi dan berita di media cetak dan online. Contohnya, di tahun 2010, saya mengikuti kegiatan Pesta Blogger 2010 yang dipusatkan di Episentrum Walk. Kesempatan yang sangat baik sekali karena di sana selain menikmati berbagai acara yang menarik, saya juga bertemu teman-teman yang datang dari berbagai kota. Dua kali juga saya mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Kompasiana yaitu ketika menonton film the Social Network pada tanggal 13 November 2010 di Plaza Senayan dan puncak ultah kedua Kompasiana yang diadakan di MU Bar and Café, Sarinah. Kesempatan-kesempatan mengikuti acara-acara seperti itu saya manfaatkan sebaik-baiknya, selain untuk menghilangkan kejenuhan belajar, juga sebagai ajang berjumpa dengan teman-teman dan orang-orang terkenal ibukota.

Tidak hanya itu saja. Saya juga beberapa kali menghubungi beberapa stasiun televisi dan mengajak teman-teman International Fellowships Program untuk mengikuti beberapa acara, seperti Kick Andy, Mario Teguh Golden Ways, Indonesia Mencari Bakat dan Satu Jam Lebih Dekat. Tujuan utamanya hanya ingin merasakan bagaimana rasanya masuk ke studio televisi nasional. Jika ada fasilitas tambahan seperti mendapat makan malam atau buku gratis, itu berarti sebuah rejeki nomplok bagi anak kost.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun