Minggu pagi sepulang dari gereja, aku siap-siap pergi ke resepsi pernikahan Arttika yang diadakan di Gedung Wanita Karanganyar pada pukul 10.00 WIB. Arttika adalah teman sekelasku di SMA 3 Surakarta. Sebetulnya, aku sudah menyebarkan undangan pernikahan tersebut ke teman-teman sekelas melalui sebuah note di Facebook hari Jumat yang lalu, dengan maksud untuk mengajak bareng-bareng datang di pernikahan Arttika. Namun, hanya sedikit yang merespon, hingga akhirnya aku berangkat sendiri ke Karanganyar.
Jam 10 kurang sepuluh, aku mengendarai sepeda motorku menuju ke Karanganyar. Aku memacu sepeda motor itu dengan kecepatan rendah, sambil menikmati lalu lintas yang tidak begitu padat di Minggu pagi. Dalam perjalanan, aku melihat seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Dia sedang mengais-ais sebuah tong sampah. Aku menurunkan kecepatan sepeda motor dan melihat apa yang sedang dia cari. Di pipinya ada beberapa nasi yang tertempel dan mulutnya tampak sedang mengunyah sesuatu. Entah apa yang dirasakan oleh laki-laki itu pada saat makan.
Aku kemudian melanjutkan perjalanan ke Karanganyar dengan masih membayangkan aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki itu. Aku tidak tahu pasti apakah dia orang waras atau edan, tapi dia kelihatan menikmati "menu hidangan" yang dikorek-korek di tong sampah itu. Ada banyak orang yang tidak beruntung sehingga harus mencari sisa-sisa makanan di tempat sampah. Sebagai manusia, dia pasti merasakan lapar dan mencoba mengisi perutnya dengan makanan.
Jam 10 lewat 10 menit, aku sudah tiba di Gedung Wanita Karanganyar. Puluhan mobil dan sepeda motor sudah terparkir di halaman gedung itu. Di sana juga sudah ramai para tamu. Seperti lirik langgam Resepsi, kakung putri ngagem busana kang edi peni. Setelah memarkir sepeda motor, aku antri untuk mengisi buku tamu. Sambil menunggu giliran menulis, aku mengarahkan pandangan mataku untuk mencari-cari seseorang, kalau-kalau ada teman yangg datang di resepsi pernikahan Arttika. Namun nihil. Selesai mengisi buku tamu, aku mencari kursi untuk duduk. Aku pilih di luar gedung karena bisa lebih bebas, fleksibel dan tidak sumuk.
Rantaman adicara resepsi pernikahan Arttika baru saja dimulai. Pambiyawara yang fasih berbahasa Jawa, memandu jalannya acara. Sambil mengikuti acara tersebut, aku memerhatikan tamu-tamu lain yang ada di sekelilingku. Pada saat yang bersamaan, para sinoman yang berasal dari sebuah katering menghidangkan suguhan demi suguhan. Habis menu yang satu, ganti dengan menu yang lain.
Aku jadi teringat dengan laki-laki yang mengais-ais makanan di tempat sampah tadi. Barangkali, tamu-tamu yang ada di pesta pernikahan Arttika adalah orang-orang yang beruntung, termasuk aku, sebab mereka bisa menikmati menu-menu istimewa yang dipesan dari sebuah katering terkenal di Kota Solo. Namun ada yang membuatku gusar. Para tamu banyak yang menyisakan makanan yang telah mereka makan, semisal roti, nasi beserta lauk-pauknya.
Aku tidak tahu penyebabnya. Mungkin mereka sudah terlalu kenyang dengan rentetan hidangan yang disajikan. Namun sangat disayangkan memang, ketika melihat sisa-sisa makanan yang ada di piring-piring tersebut. Eman-eman kalau orang Jawa bilang. Aku tidak hanya ingat pada laki-laki tadi, namun pada ribuan orang-orang yang tidak beruntung di berbagai daerah di Indonesia dan dunia. Mereka yang tengah mengungsi dan sedang dilanda kekurangan makanan. Sigh!!!!!
Salah seorang temanku bercerita. Dahulu ketika kakeknya masih hidup, dia dididik keras oleh kakeknya. Salah satu didikannya tentang makan. Temanku diajari untuk menghabiskan setiap makanan yang dia makan. Kalau tidak habis, makanan itu harus disimpan, dan kemudian dimakan kembali setelah berjarak waktu tertentu. Intinya makanan itu harus habis. Jika tidak habis atau bahkan dibuang, berarti sangat tidak menghargai jerih payah orang yang telah membuatnya.
Aku pikir didikan yang diberikan kakek temanmu itu meskipun sangat keras, tapi memiliki tujuan yang mulia. Aku banyak belajar dari cerita itu. Apabila mengambil makanan, aku kudu memperkirakan berapa kapasitas perutku, apakah aku bisa menghabiskan atau tidak. Aku juga berusaha untuk menghabiskan makanan itu sampai habis. Itu sebagai salah satu bentuk bersyukur dan menghargai.
Namun, jika semua menghabiskan makanannya tanpa sisa, sedangkan di pihak lain masih ada banyak orang yang bernasib seperti laki-laki yang mencari makanan di sampah, darimana mereka akan memperoleh makanan? Mungkin sisa-sisa nasi dan makanan di resepsi pernikahan Arttika itu pun masih bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk menghidupi mereka. Apakah ini yang disebut keadilan alam semesta dan harus membiarkan hal tersebut tetap berjalan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI