Mohon tunggu...
Winarto -
Winarto - Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

noord oost zuid west, thuis best.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mak Ijem

30 Mei 2012   09:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dengan sebutan apa Anda memanggil seorang perempuan yang telah melahirkan Anda? Ibu? Mama? Mami? Bunda? Kalau saya, orang yang telah melahirkan saya 27 tahun yang lalu, saya panggil dengan sebutan Emak.

Namanya Mak Ijem

Di Kampung Benowo Wetan, tempat saya dilahirkan, dan sekitarnya, nama Mak Ijem sangatlah popular. Nama itu merujuk pada nama ibu saya. Nama lengkapnya Mujiyem, namun karena Bapak, Kakak dan saya memanggilnya dengan sebutan "Mak" atau "Emak" maka orang-orang kampung pun ikut-ikutan memanggil nama ibu saya dengan sebutan Mak. Sejak kecil, saya sudah familiar memanggil dengan sebutan itu.

Secara historis, saya tidak tahu persis mengapa saya memanggill ibu saya dengan sebutan itu, padahal teman-teman sebaya saya dan para tetangga memanggil ibu mereka dengan sebutan Ibu, Mama, Mami atau Bunda. Beberapa orang masih menyebut dengan panggilan "Mbok" atau "Simbok". Namun, menurut cerita Bapak dan Emak saya, panggilan Emak tersebut dikarenakan ikut-ikutan kakak-kakak keponakan saya yang memanggil ibu mereka dengan sebutan Emak. Jadi, sedari kecil hingga sekarang, saya memanggil ibu saya dengan sebutan Emak.

Saya tidak aneh dengan menyebut panggilan itu, walaupun menjadi sebutan yang minoritas bagi anak-anak di kampung dan teman-teman saya kepada ibu mereka. Dalam beberapa kali kesempatan, teman-teman sekolah saya menanyakan mengapa saya memanggil ibu dengan sebutan Emak. Mereka juga bertanya apakah panggilan itu akan terus dipakai atau ada rencana untuk memanggil dengan sebuatn lain, ibu misalnya? Mungkin mereka merasa aneh karena panggilan itu jarang dipakai lagi seperti halnya Mbok atau Simbok. Dengan sederhana saya menjawabnya bahwa saya ikut-ikutan kakak keponakan yang memanggil ibu mereka dengan sebutan Mak  dan saya sangat mencintai panggilan itu.

Semua anak barangkali akan menyebut ibu mereka sebagai pahlawan. Emak saya adalah pahlawan bagi saya dan keluarga. Walaupun secara pendidikan formal hanyalah lulusan Sekolah Dasar, namun Emak memiliki cita-cita supaya anak-anaknya memiliki pendidikan tinggi agar bisa merubah nasib keluarga. Emak bersama Bapak memiliki keinginan yang kuat supaya saya dan kakak saya memiliki kehidupan yang lebih baik. Dengan kemampuan finansial yang terbatas, Emak dan Bapak berusaha agar saya dan kakak saya bersekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi.

Jika dipikir-pikir, untuk ukuran keluarga saya, berinvestasi dengan menyekolahkan anak dari pendidikan daasar hingga perguruan tinggi bukanlah pekerjaan yang mudah. Cita-cita Bapak dan Emak adalah menyekolahkan saya dan kakak saya dijenjang yang setara, yaitu Sarjana. Meskipun harus ditempuh dengan bekerja keras memeras keringat, berkat doa dan perjuangan, semua itu bisa dilakukan oleh Bapak dan Emak. Saya menerima ijasah S1 pada tahun 2008, sedangkan kakak saya beberapa tahun sebelumnya. Prestasi ini sangatlah luar biasa.

Emak Hebat!

Hampir tidak ada kata yang terucap untuk bisa menggambarkan perjuangan Emak dan Bapak. Ibarat sepakbola, kerjasama Emak dan Bapak sangatlah rapi dalam melakukan serangan dan pertahanan untuk mencapai tujuan, yaitu goal. Dengan sabar dan tekun, mereka bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga serta mengupayakan agar anak-anak bisa bersekolah.

Tidak ada tuntutan dari Emak dan Bapak terkait dengan sekolah. Jika ada teman-teman saya yang merasa tertekan dengan tuntutan orang tua seperti harus berprestasi dan belajar di jam-jam tertentu, saya hanya diminta masuk ke sekolah dan belajar yang rajin. Saya betul-betul melakukannya dengan senang hati mengingat Emak dan Bapak sudah berpeluh dan bermandi keringat membayar uang sekolah, buku dan memberi uang saku.

Jadi, tidak ada kata mbolos. Alasannya sederhana. Kalau membolos berarti saya berdosa kepada Bapak dan Emak. Jika saya colut (keluar dari kelas tanpa izin), berarti saya tidak amanah. Pernah suatu kali, saya diajak teman-teman untuk keluar dari kelas, karena jam-jam terakhir kelas kosong dan guru memberi tugas. Entah kenapa saya ikut mereka. Tapi di tengah jalan, perasaan saya sama sekali tidak damai sejahtera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun