Apakah Cinta Benar-benar Membuat Manusia Kehilangan Akal Sehatnya?
Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti hiperbola, tetapi realitas di sekitar kita sering kali mendukung klaim ini. Kita menyaksikan cinta, yang seharusnya menjadi emosi luhur, berubah menjadi alasan untuk perilaku tidak masuk akal.
Sering kali, film, sinetron, drama, atau novel sastra menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang buta. Dengan penekanan dramatis yang bagi orang waras terasa gila, karakter dalam cerita-cerita ini rela melakukan apa pun demi mendapatkan cinta. Mereka merendahkan dirinya, mengorbankan harga diri, bahkan melupakan nilai-nilai moral yang semestinya mereka pegang teguh. Dalam benak yang sinis, aku berpikir: apakah cinta sesungguhnya hanyalah bentuk lain dari keegoisan?
Ketika cinta tidak berjalan dengan lancar atau tidak sesuai harapan, banyak orang merespons dengan keputusan-keputusan ekstrem. Ada yang nekat melukai orang lain, bahkan melayangkan nyawa. Mereka menganggap tindakan ini sebagai bukti cinta, padahal sesungguhnya itu adalah awal dari penderitaan, keterpaksaan, dan kekerasan emosional.
Namun, di sisi lain, cinta sejati juga memiliki nilai yang tidak dapat diabaikan. Tidak apa-apa berkorban demi cinta, selama itu tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Pengorbanan yang tulus adalah bukti bahwa cinta itu berharga dan pantas diperjuangkan, karena yang dicintai dianggap lebih bernilai daripada apa yang dikorbankan.
Faktor Sosial dan Psikologis di Balik Perilaku Bodoh dalam Cinta
Jika ditelaah lebih jauh, ada dua faktor besar yang berperan dalam perilaku ini: tekanan psikologis dan kurangnya pendidikan emosional. Banyak orang tidak memahami bagaimana membangun hubungan yang sehat, sehingga mereka menciptakan aturan sendiri, sering kali dengan dalih cinta.
Pria, misalnya, sering kali merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan. Mungkin karena kehadiran anggota keluarga baru yang tidak direncanakan, atau tekanan dari keluarga besar. Mereka tidak ingin menikah, tetapi merasa tak punya pilihan lain. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka mengorbankan kebebasan mereka sendiri.
Hal serupa juga terjadi pada perempuan. Banyak perempuan yang dipaksa menerima kenyataan pahit demi mempertahankan apa yang disebut sebagai "harga diri." Padahal, sering kali ini hanya cerminan tradisi usang atau trauma masa lalu yang diwariskan. Lingkaran setan ini tumbuh subur karena adanya mentalitas kepiting: keengganan melihat orang lain lebih sukses atau bahagia dari dirinya.