Mohon tunggu...
Winangsih Pramanajati
Winangsih Pramanajati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/S1 Kimia/Universitas Sebelas Maret

Halo, saya adalah seorang mahasiswi Kimia UNS tahun 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tinggalkan Jejak Hijau di Dunia Mode: Menjelajahi Alternatif untuk Fast Fashion

18 Oktober 2023   19:15 Diperbarui: 18 Oktober 2023   19:46 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://phys.org/ 

Fast Fashion merupakan industri fashion yang dikenal memproduksi pakaian dalam jumlah yang besar dengan siklus produksi yang sangat cepat, dan seringkali menggunakan bahan baku yang murah meriah sehingga tidak akan tahan lama. Misalnya ketika musim panas, industri fast fashion akan memproduksi pakaian musim panas. Dan dalam waktu singkat, mereka akan memproduksi pakaian untuk musim dingin ketika musim dingin datang. Bahkan saat ini, kebanyakan industri fast fashion memproduksi hingga 42 model fashion dalam waktu 1 tahun.

Industri fast fashion seringkali tidak memperhatikan dampak buruk terhadap lingkungan dan mengorbankan keselamatan banyak orang. Rata-rata industri fast fashion terletak di Negara berkembang, yang mana salah satunya adalah Indonesia. Industri fast fashion biasanya mempekerjakan wanita yang berpendidikan rendah, muda, dan imigran (bukan penduduk asli). Para pekerja ini harus bekerja selama 14 jam sehari dengan upah yang rendah dan tidak adanya jaminan asuransi jiwa atau jaminan keselamatan kerja, serta harus bekerja pada kondisi yang berbahaya untuk memproduksi sebuah produk dari fast fashion.

Dampak dari adanya fast fashion terhadap lingkungan telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Dampak yang paling terasa dari adanya fast fashion adalah dampak negatif. Dampak yang pertama yaitu, meningkatnya limbah tekstil, fast fashion seringkali menimbulkan limbah tekstil dalam jumlah yang besar dikarenakan pakaian seringkali dibuang dengan sangat cepat. Sampah tekstil ini dapat membanjiri tempat pembuangan sampah dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terurai. Limbah tekstil juga dapat mencemari lingkungan karena menggunakan bahan kimia dalam proses pembuatannya. Produksi dari fast fashion menyumbang 10% dari total emisi karbon global, dan sekitar 85% tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah setiap tahunnya. Bahkan mencuci pakaian melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahunnya, setara dengan 50 miliar botol plastik.

Yang kedua yaitu, fast fashion membutuhkan banyak air dan juga energi untuk proses produksinya. Tanaman seperti kapas seringkali ditanam dalam skala yang besar dan tentunya dalam proses penanaman ini membutuhkan banyak air. Selain itu, proses pewarnaan dan pembuatannya juga memakan banyak energi. Ada 3 pendorong utama dampak polusi global dari industri fast fashion ini adalah pewarnaan dan finishing (36%), persiapan benang (28%) dan produksi serat (15%). Produksi serat memiliki dampak terbesar terhadap pengambilan air tawar dan kualitas ekosistem rusak akibat budidaya kapas. Industri fast fashion membutuhkan sekitar 700 galon untuk memproduksi satu kemeja katun dan 2.000 galon air untuk memproduksi celana jeans. Produksi pembuatan serat plastik menjadi tekstil merupakan proses intensif energi yang membutuhkan minyak bumi dalam jumlah besar dan melepaskan partikel yang mudah menguap dan asam, seperti hidrogen klorida.

Yang ketiga, industri fast fashion ini menciptakan kondisi kerja yang buruk. Untuk menjaga agar harga fast fashion ini tetap rendah, maka para produsen fast fashion seringkali membayar pekerja di negara-negara berkembang dengan upah yang rendah dan menerapkan budaya kerja yang buruk. Hal ini tentu saja melanggar hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Budaya kerja yang buruk dan upah yang kecil apabila didiamkan akan berakibat pada semakin banyaknya masyarakat golongan menengah kebawah, yang tentunya hal ini akan berpengaruh juga terhadap ekonomi negara.

Yang keempat, industri fast fashion seringkali menggunakan bahan kimia berbahaya dalam produksi tekstil dan pewarnaan pakaian, salah satunya adalah poliester. Poliester adalah salah satu bahan baku yang banyak digunakan dalam industri fast fashion yang berasal dari bahan baku fosil, sehingga saat dicuci akan menimbulkan serat mikro yang meningkatkan jumlah sampah plastik yang ada. Bahan-bahan seperti poliester, nilon, dan akrilik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai di alam. Selain poliester, bahan katun yang digunakan biasanya diberi campuran air dan pestisida dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga sangat membahayakan para pekerja dan meningkatkan resiko kekeringan, menciptakan tekanan besar pada sumber air, dan menurunkan kualitas tanah.

Fast fashion mendorong para konsumen untuk terus membeli pakaian baru karena tren yang berubah amat sangat cepat, terutama di era digitalisasi seperti saat ini. Yang mana dengan mudahnya akses informasi, persebaran tren juga semakin berkembang dan semakin cepat terjadi. Dengan mengikuti tren yang ada, orang-orang akan terus menerus membeli pakaian baru sesuai dengan tren yang sedang hits. Hal ini akan memperbesar kontribusi kita terhadap masalah pemborosan sumber daya.

Solusi dari adanya permasalah yang ditimbulkan oleh fast fashion ini adalah dengan menerapkan gerakan slow fashion. Slow Fashion adalah reaksi yang meluas terhadap fast fashion dan dampaknya terhadap lingkungan, argument untuk mengerem produksi yang berlebihan dan ugal-ugalan, rantai pasokan yang rumit, dan konsumsi yang tidak ada habisnya. Slow fashion erat kaitannya dengan quality over quantity, biasanya slow fashion akan mengutamakan kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Berbeda dengan fast fashion yang memproduksi pakaian dalam jumlah yang besar, slow fashion justru memproduksi sedikit pakaian dengan kualitas yang tentunya lebih baik. Hal ini akan mendorong para konsumen untuk berinvestasi pada pakaian yang berkualitas dan tahan lama, dibandingkan dengan membeli pakaian murah yang hanya dapat dipakai beberapa kali saja. Ethical production juga menjadi salah satu ciri dari slow fashion yang mana slow fashion mempromosikan penggunaan metode produksi yang etis dengan memprioritaskan perlakuan adil terhadap seluruh pekerja dan penggunaan serat organik dan alami serta mengurangi penggunaan bahan kimia dalam proses produksinya. Salah satu cara yang dapat kita terapkan untuk mengurangi konsumsi fast fashion adalah dengan membeli pakaian bekas yang masih bagus dan layak pakai, membeli pakaian bukan berdasarkan trend yang ada, dan lebih mementingkan kualitas pakaian daripada harga pakaian. Beli pakaian yang mempunyai desain minimalis, dan fokuskan pada pakaian yang timeless dan kamu butuhkan serta serbaguna agar dapat dipakai dimanapun dan awet hingga bertahun-tahun.

Dengan menerapkan slow fashion dalam kehidupan keseharian kita, lambat laun kita akan dapat mengurangi jumlah polusi di dunia. Selain itu, kita juga dapat lebih menghemat biaya dalam mengeluarkan uang untuk membeli pakaian karena kualitas dari pakaian kita sudah terjamin. Slow fashion memang mempunyai daya tarik tersendiri karena generasi muda kini sudah semakin menyadari pentingnya keberlanjutan lingkungan serta asal-usul dari sebuah brand yang mereka kenali. Membeli lebih sedikit tetapi dengan kualitas barang yang lebih baik dan bertahan lama serta timeless adalah tujuan dari gerakan slow fashion.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun