Sebenarnya, tidak ada yang begitu spesial dari tulisan ini. Di luar sana banyak penulis atau penyair yang mampu menghipnotis jutaan orang dengan goresan tinta mereka. Bahkan bisa menciptakan banyak pembaca baru yang tadinya benci dengan buku dan sejenisnya. Tapi, aku tidak peduli dengan mereka, aku hanya ingin berekspresi dengan apa yang ada di otakku saat ini. Terserah, orang lain mau menilai bagaimana, sekalipun ada yang menghina tulisan ini, aku tidak peduli, setidaknya aku masih mampu berkarya daripada hanya sekedar menjadi seorang plagiator.
Hari itu, aku untuk pertama kalinya berada di tengah-tengah masyarakat yang penuh dimensi. Katakanlah saat itu ada pesta rakyat, kegiatan social dan sejenisnya. Berada di pinggiran sungai yang tercatat dalam sejarah sebagai sungai terdalam dim Indonesia menjadi kenangan yang tak’kan terlupakan. Aku memang tidak sedang jalan-jalan, liburan ataupun bertamasya. Jelas itu tidak mungkin rasanya, karena aku lebih menyukai berliburan ke suasana yang penuh keindahan alam bernuansa hijau dengan pemandangan yang indah melebihi lukisan seorang pelukis kelas dunia sekalipun. Sejauh yang aku lihat, di sana hanya ada rumah-rumah dari kayu yang bisa kapan saja tenggelam ke dalam sungai yang menjadi tempat pondasinya. Air sungai pun jauh dari yang diharapkan, jangankan untuk berenang, untuk memasukkan jari tangan pun aku berpikir seribu ribu kali.. tapi entah mengapa, seakan ada yang berbeda di sana. Belasan sampan bermesin atau yang biasa dikenal sebagai pompon, berjejer di tionggak beton dua jembatan yang berada di atasnya.  Ketika ratusan mobil mewah melintasi jembatan itu, dalam waktu nyang sama pun pompong atau sampan kayu juga berhiliran. Ada yang berwarna merah, ada yang bergambar ikan, ada yang berumbul-umbul, bahkan ada yang seperti sampul permen yang sering aku lihat di toples ketika lebaran tiba. Di ujung setiap sampan tampak seorang lelaki yang berdiri tegap berpakaian melayu lengkap. What?? Tumben di atas sampan ada yang berpakaian adat, mau pesta bukan, lagi acara turun mandi juga bukan. Tapi itulah faktanya, mereka terlihat sangat berbeda. Mereka bahkan bisa disejajarkan dengan ratusan orang yang mengaku wakil rakyat tapi doyan menghabiskan uang rakyat. Wibawa mereka pun tak kalah, bahkan mereka terlihat lebih bersih dan rapi. Mungkin kalimat ini terkesan agak lebay, tapi lagi-lagi aku tak peduli. Setidaknya kalimat ini masih lebih manis, daripada kata-kata jorok yang sering keluar dari mulut para pengumpat negeri ini. Di tempat aku berdiri, sekelompok anak laki-laki berusia sekitar 8– 11 tahun saling bercanda. Mereka mulai melucuti pakaian mereka hingga tak sehelai benangpun yang tersisa. Upss, ini bukan ajang pornografi, tapi entahlah jika kegiatan mereka pun harus dikatakan melanggar UU Anti Pornoaksi dan pronografi yang diperdebatkan itu. Mereka mengambil ancang-ancang untuk bersiap melompat. Laksana sedang berkompetisi dalam kejuaraan dunia untuk memperebutkan medali emas, mereka pun saling adu aksi dan kreatifitas. Ada yang seperti paus kelaparan, ada yang bergaya seperti perenang sejati, bahkan ada yangs eperti kambing masuk ke air. Aku bukan bermaksud menyamakan mereka dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, hanya mereka seakan ingin berkisah bahwa mereka juga bisa melakukan apa yang dilakukan banyak orang di luar sana. Tidak jauh dari mereka beraksi di tengah pusaran kecil air nan keruh, ada sekelompok ibu-ibu sedang mencuci pakaian dan anak kecil sedang mengeluarkan sisa-sisa ampas makanan yang masih tersisa. Seketika sekelompok anak yang beraksi mencelupkan kepala mereka, saat itu pula isi ampas anak di sudut lain melewati mereka. Ampas itu bahkan saling bersinergi dengan busa-busa kecil hasil bilasan cucian si ibu-ibu. Rantint-ranting kayu, pasir-pasir, lumut-lumut, sampah plastik bahkan kulit pisang dan punting rokok pun tak mau kalah dengan ampas. Mereka saling bergotong royong untuk melengkapi kecoklatan warna air yangs emakin pekat, entah karena biota air yang mulai punah, atau mungkin karena sisa perasan hasil industri pabrik di sana. Aku pun tak tahu dan tak berani menduga-duga. Semoga dugaanku keliru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H