Hak asasi manusia adalah fondasi moral yang mengakui martabat universal individu. Tentu, melindungi kebebasan dan keadilan tanpa memandang ras, suku, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Dengan menghormati hak asasi manusia, pemerintah berusaha membangun masyarakat yang inklusif dan adil, di mana warga negara memiliki kesempatan untuk hidup dengan martabat dan tanpa diskriminasi.
Salah satu pelanggaran hak asasi manusia adalah pelecehan seksual terhadap kaum perempuan. Hal ini mencederai martabat dan kehidupan sosial korban. Pelecehan seksual bukan hanya merupakan kejahatan fisik, tetapi juga menyebabkan dampak psikologis bagi korban, seperti: perasaan cemas, kehilangan harga diri, atau depresi.
Mereka seringkali mengalami trauma yang mencakup efek kesehatan mental dan emosional. Namun, kenyataannya, mereka harus memperjuangkan keadilan yang seringkali terabaikan, seperti: mendapatkan perlindungan hukum, mengakses layanan medis dan konseling psikologis, hingga hak memperoleh dukungan sosial.
Pelecehan seksual dapat terjadi di lingkungan sekolah, kerja, bahkan rumah sendiri, mulai dari komentar yang tidak senonoh, hingga tindakan fisik mengancam dan merendahkan diri. Meskipun pemerintah mengupayakan pencegahan kejahatan dan penegakan hukum, angka pelecehan seksual tetap tinggi dan seringkali mengakibatkan stigma sosial. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat kecemasan sosial atau isolasi diri.
Bagaimana memahami bahwa korban pelecehan seksual merasa terisolasi dan cenderung menghadapi ketidakyakinan penegakan hukum? Â Mereka harus berjuang meminta keadilan hukum pidana. Ini termasuk hak melaporkan tindakan pelecehan seksual, mengajukan tuntutan hukum, dan mendapatkan perlakuan adil dalam proses peradilan. Sayangnya, korban menghadapi hambatan membuktikan tindakan pelecehan seksual karena bukti fisik atau tekanan sosial.
Pada tahun 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat lebih dari 4.000 kasus kekerasan perempuan di Indonesia dari Januari sampai September. Dan, pada periode Januari - November 2022, menerima 3.014 laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Sebagai latar belakang, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah regulasi hukum yang bertujuan untuk melindungi korban dan menetapkan sanksi bagi pelaku. Dengan tujuan mengurangi prevalensi pelecehan seksual dan meningkatkan kesadaran hukum, masyarakat ingin mencegah penyebaran berita palsu atau pembebasan pelaku yang tidak adil.
Kemudian, korban pelecehan seksual memiliki hak mendapatkan kompensasi atau restitusi atas ganti kerugian fisik, psikologis, maupun finansial. Rasa tanggung jawab sosial berfungsi sebagai alat menyadarkan pelaku kejahatan akan "utang" (akibat dari perbuatan jahat kepada korban), seperti yang dikemukakan oleh Atmasasmita (1992).
Meskipun memiliki tujuan baik, pelaksanaan restitusi bagi korban pelecehan seksual di Indonesia masih belum optimal. Menurut data dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pembayaran dana restitusi oleh pelaku kepada korban sangat minim. Dari total Rp2.130.183.947 yang terhitung, hanya Rp229.112.700 yang telah diputuskan hakim untuk pelaku, dan hanya Rp10.364.000 yang benar-benar sudah membayar (LPSK, 2020). Kira-kira, apa yang menyebabkan pelaksanaan restitusi bagi korban pelecehan seksual tidak optimal?
Secara keseluruhan, pemerintah memiliki peran hak korban pelecehan seksual, mewujudkan pendidikan masyarakat tentang menghormati batas pribadi dan menghentikan budaya pembenaran terhadap pelecehan seksual. Individu memiliki hak hidup tanpa takut akan pelecehan seksual. Ini akan membangun paradigma masyarakat yang lebih berempati menangani kasus pelecehan seksual di dunia.
Referensi :
https://radarjember.jawapos.com/opini/794577315/keadilan-bagi-korban-pelecehan-seksual?page=2