O.K, itu sah-sah saja sebagai sebuah gagasan.
Tapi terdengar konyol ketika pria yang akrab dipanggil Tama itu membandingkan kualitas turis asing di Indonesia dan Selandia Baru.
"Sekarang spending wisman di kita kira-kira USD 1.220, Selandia Baru hampir USD 5.000 per kedatangan, artinya apa? Kualitas wisatawan yang datang ke Selandia Baru lebih tinggi walaupun jumlah wisatawannya cuma empat juta," katanya.
Sekali lagi, sekedar perbandingan sebenarnya ini sah-sah saja. Tapi  ya tentu saja konyol namanya kalau pembandingan itu berhenti sampai di jumlah wisatawan yang datang dan berapa yang mereka habiskan selama berwisata.Â
Sementara faktor penerimaan masyarakat terhadap wisatawan, fasilitas yang ada, kebersihan, kerapian, keteraturan dan berbagai faktor yang menyebabkan turis-turis kelas premium merasa nyaman di Selandia Baru, sama sekali tidak dipertimbangkan.
O.K, bisa saja ini adalah asumsi saya pribadi bahwa Wishnutama tak mempertimbangkan itu. Tapi sebenarnya menteri tampan nan cerdas ini sudah mempertimbangkan semuanya.
Nah kalau itu benar sudah dipertimbangkan, kitapun jadi bertanya, strategi apa yang sudah disiapkan Wishnutama dalam memodifikasi cara hidup dan mindset masyarakat Indonesia di daerah tujuan wisata dalam waktu singkat supaya bisa seperti Selandia Baru? Bagaimana mereka menangani sampah, rekayasa sosial  seperti apa yang sudah disiapkan Wishnutama supaya masyarakat di daerah tujuan wisata bisa seperti masyarakat Selandia Baru yang tidak membuang sampah sembarangan?Â
Rekayasa sosial seperti apa yang sudah disiapkan Wishnutama agar masyarakat tidak menaikkan harga ketika bertemu turis asing? bagaimana soal higienisme makanan dan lain sebagainya.
Memangnya membuat rekayasa sosial yang seekstrim itu bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan?Â
Tapi sudahlah, asumsikan saja, Wishnutama ini manusia sekelas dewa yang mampu membuat rekayasa sosial seekstrim itu dengan cara saksama dan waktu yang sesingkat-singkatnya, lalu semua berjalan lancar dan wisatawan yang datang ke Indonesia dibatasi dengan wisatawan kelas premium saja.
Dari segi penerimaan devisa, mungkin benar turis kualitas premium ini menghasilkan lebih banyak devisa, meski jumlahnya sedikit. Tapi, dari segi pemerataan dan efeknya terhadap perekonomian lokal jelas sangat kecil. Â